Pola Skenario Serupa Kasus Brigadir J, Pakar Hukum: KM50 Bisa Dibuka Kembali

Bisa dibuka kembali jika bisa dibuktikan adanya rekayasa kasus.

Republika/Ronggo Astungkoro
Karangan bunga berisi pesan dukungan kepada Komnas HAM untuk mengusut kasus polisi vs anggota FPI di KM50 Tol Jakarta-Cikampek di depan kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Rep: Amri Amrullah Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir menilai ada kesamaan skenario yang dibuat antara kasus Brigadir J dan KM50. Walaupun kasus KM50 telah menyeret dua anggota Polri dengan hukuman dan vonis bebas, namun kasus ini masih memiliki kejanggalan di sebagian masyarakat.

Mudzakir mengatakan dengan terkuaknya kasus skenario tembak menembak di kasus Brigadir J, publik bisa melihat kesamaan pola yang digunakan di kasus KM50, yang menewaskan enam laskar Front Pembela Islam (FPI). Menurutnya, dua kasus Brigadir J dan KM50 ini mirip skenarionya.

"Pertama menempatkan terlebih dahulu korban pembunuhan sebagai tersangka. Kedua setelah ada proses-proses itu, terjadilah yang namanya rekayasa kasus. Kalau berdasarkan fakta, seolah olah itu terjadi perlawanan dari korban kepada anggota polri yang bertugas," kata Mudzakir kepada wartawan, Sabtu (13/8/2022).

Pertanyaan dasar sesungguhnya, menurut Mudzakir, berbuat kesalahan apa anggota FPI itu sampai harus ditembak mati? Pertanyaan yang sama dalam kasus Brigadir J. Kesalahan apa yang akhirnya Brigadir J harus ditembak mati? "Dan yang untuk FPI kan sampai saat ini belum terjawab, dosa dan kesalahannya apa," tutur dia.

Menurut Mudzakir, yang dipaparkan dalam proses pengadilan, seolah-olah anggota FPI yang ditembak mati itu, mereka berbuat salah karena melawan petugas. Kalaupun melawan petugas, Mudzakir menegaskan, kesalahan mereka itu sebenarnya apa? Sampai-sampai HRS (Habib Rizieq Shihab) dan anggota FPI harus dibuntuti dari kendaraan.

"Kesalahannya apa sampai harus membututi orang seperti itu? Kan pertanyaan ini sampai sekarang tidak terjawab," ujarnya.

Ia menilai tidak ada hukum pidana yang disangkakan kepada HRS dan anggota FPI itu sebelumnya. Menurut Mudzakir seandainya kalau HRS dan anggota FPI itu membawa bom, terus mau merampok dan melukai banyak orang, itu boleh menjadi alasan, dibuntuti dan dikejar-kejar di jalan raya. "Tapi kan faktanya tidak seperti itu," katanya.

Maka, kalau kesalahan besar itu tidak ada, Mudzakir menegaskan tindakan aparat yang mencegat dan memaksa hingga terjadi penembakan yang menewaskan anggota FPI adalah ilegal. "Kalau ini dikatakan ilegal, maka bisa dibuka kembali perkaranya untuk diluruskan ke publik," tegasnya.

Sebagai ahli hukum pidana, Mudzakir mengingatkan jangan sampai negara ini menyimpan cacat sejarah penegakan hukum. Yakni, terdapat proses mengadili seseorang dengan bukti-bukti yang tidak akurat, sehingga melahirkan peradilan yang tidak semestinya. Ia menyebut pihak keluarga korban dari FPI bisa meminta penjelasan kembali soal ini.

"Bisa dibuka kembali jika bisa dibuktikan adanya indikasi peradilan sesat itu, mungkin dengan barang bukti dan alat bukti bahwa terjadinya rekayasa kasus. Dan menjelaskan korban bukan pelaku yang sesungguhnya," jelas Mudzakir.

Caranya, pintu masuknya ada di Komnas HAM, karena ada proses pengadilan yang menyesatkan. Karena terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur negara. Apalagi dikatakan kasus KM50 ini unlawful killing. Dengan terkuaknya kasus Brigadir J, Mudzakir menilai semestinya Komnas HAM juga harusnya mulai mencurigai lagi di kasus KM50. Komnas HAM bisa melihat ulang apakah ada proses yang salah dengan penanganan kasus KM50 sebelumnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler