Komisi X DPR RI: Tinjau Ulang Kebijakan PTN-BH

Kebijakan PTN Berbadan Hukum membuat PTN berlomba-lomba membuka jalur mandiri

Antara/M Risyal Hidayat
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, menilai perlunya peninjauan ulang terhadap kebijakan perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH). (ilustrasi).
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, menilai perlunya peninjauan ulang terhadap kebijakan perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH). Sebab, dia menilai, kebijakan tersebut membuat PTN berlomba-lomba membuka jalur mandiri, yang disebut kurang transparan dalam prosesnya.

"Perlu juga ditinjau ulang soal perguruan tinggi berbadan hukum yang akibatnya membuat PTN berlomba-lomba buka jalur mandiri untuk bisa membiayai sendiri," ujar Dede kepada Republika, Senin (22/8/2022).

Dia juga ingin agar seleksi jalur mandiri penerimaan mahasiswa baru (PMB) dihapus agar tak terjadi lobi-lobi di bawah tangan. Sebagai gantinya, agar transparan, dapat dilakukan tes seleksi resmi dengan biaya semester progresif yang jelas dan terukur.

"Baiknya jalur mandiri di negri itu hapus aja. Diganti tes seleksi resmi, gelombang I, II, dan III. Dengan biaya semester progresif, jelas, dan terukur. Sehingga tidak terjadi lobi-lobi bawah tangan dan transparan penggunanya," kata Dede.

Terkait jalur afirmasi, dia mengatakan, sebaiknya diperuntukkan bagi siswa berbakat dalam bidang non akademik, seperti olahraga, pramuka, seni, dan sebagainya. Afirmasi juga dapat diberikan terhadap mahasiswa yang berasal dari daerah tertinggal dan mahasiswa berkebutuhan khusus.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Agil Wahyu Ramadhan, melihat kasus korupsi rektor Universitas Lampung (Unila) sebagai kejadian yang miris. Agil mengatakan, jalur mandiri penerimaan mahasiswa baru (PMB) sepatutnya dievaluasi karena tidak transparan sehingga berpotensi besar terjadinya korupsi.

"Karena tidak transparan, jadi potensi itu (korupsi dalam bentuk suap) begitu besar. Tentu sangat perlu dievaluasi," ujar Agil kepada Republika, Senin (22/8/2022).

Agil menyampaikan, kasus yang terjadi di Unila merupakan kejadian yang miris. Di mana seorang rektor yang merupakan insan akademis korupsi dengan menjual kursi kuliah. Dia mengatakan, hal tersebut semakin menunjukkan pendidikan Indoensia tidak bersahabat dengan masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah.

"Ini menunjukkan kalau dunia pendidikan Indonesia semakin tidak bersahabat dengan masyarakat  terutama menengah ke bawah," jelas dia.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Rektor Unila, Karomani, dan menetapkannya sebagai tersangka. Selain Karomani, juga dilakukan penetapan tersangka terhadap Heryandi yang menjabat sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila, Muhammad Basri sebagai Ketua Senat Universitas Lampung, Andi Desfiandi dari swasta.

Penangkapan tersebut berawal dari laporan masyarakat terkait penerimaan mahasiswa baru di kampus negeri tersebut. Ia menambahkan pihaknya akan bekerja sama dengan KPK untuk menuntaskan perkara korupsi itu.

"Kemendikbudristek siap bekerja sama dengan KPK untuk menuntaskan perkara ini dan juga akan terus bekerjasama dengan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia, termasuk di institusi perguruan tinggi," ujar Plt Kepala Biro Kerja sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang Ristanto, di Jakarta, Ahad (21/8/2022).

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler