Puja-Puji dan Apresiasi DPR untuk Kapolri Vs Turunnya Tingkat Kepercayaan Publik ke Polri
Kasus Ferdy Sambo membuat persepsi publik terhadap Polri memburuk.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada Rabu (24/8/2022) memenuhi panggilan rapat oleh Komisi III DPR yang ingin memperdalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J), yang menyeret nama jenderal bintang dua Irjen Polisi Ferdy Sambo. Pada rapat yang dimulai pukul 10.12 WIB itu berlangsung selama kurang lebih 10 jam.
Meski rapat kerja tersebut bertujuan untuk mendalami kasus pembunuhan Brigadir J dan keterlibatan Ferdy, Sigit tetap menerima puja, puji, dan apresiasi dari Komisi III. Tak tanggung, sebanyak 54 anggota Komisi III memberikan apresiasinya kepada mantan kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri itu.
"Sebenarnya kita mesti kasih apresiasi kepada Kapolri, karena dengan cepat membentuk Tim Khusus yang bekerja secara profesional dan transparan. Janganlah seseorang yang telah bekerja baik, kemudian dicari-cari kesalahannya," ujar Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir yang mengawali "rapat apresiasi" kepada Sigit, Rabu.
Tegas, transparan, tak pandang bulu, dan profesional menjadi enam kata apresiasi Komisi III terhadap Sigit dalam rapat yang berlangsung sekira 10 jam itu. Bahkan, apresiasi menjadi poin pertama yang disampaikan oleh mayoritas anggota komisi yang melingkupi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu.
Apresiasi terhadap Sigit dalam kasus pembunuhan yang melibatkan Ferdy Sambo tersebut dikatakan menjadi momen tepat untuk sekaligus melakukan reformasi di tubuh Polri. Momentum ketika ada elite Polri yang bermasalah dengan hukum untuk langsung ditindak.
"Momentum ini gimana ungkap tanpa ada diskriminasi, siapapun yang salah jangan ada yang diselamatkan, karena bisa tercium. Jangan sampai latah dan gebyah uyah, jangan yang tidak salah lalu ikut terhukum," ujar anggota Komisi III DPR, Habiburokhman.
Namun, di balik apresiasi terdapat kritik dan masukan terhadap Sigit untuk melakukan perbaikan terhadap Polri. Menurut sejumlah anggota Komisi III, kasus yang melibatkan Ferdy Sambo itu menunjukkan permasalahan penting dalam internal kepolisian, yakni profesionalitas.
Khususnya yang berkaitan dengan kultur atau budaya di dalam kepolisian. Kultur yang bermasalah tersebut terlihat pertama kali ketika Ferdy Sambo yang notabenenya jenderal bintang dua tak mengakui dirinya terlibat dalam kasus tersebut.
Semakin diperparah ketika Sambo justru menjadi dalang yang menyusun skenario pembunuhan berencana. "Sayangnya, jiwa ksatria itu tidak ada dan akhirnya jadi seperti ini. Sehingga kultur tribratanya ini juga perlu kita pertanyakan," ujar anggota Komisi III Taufik Basari.
"Menutup-nutup kasus, bekerja sama untuk bahu-membahu melakukan rekayasa ini, ini problemnya kultur," sambungnya.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi III Yakobus Jacki Uly. Mantan jenderal bintang dua kepolisian itu menilai, permasalahan terkait profesionalitas Polri terjadi akibat ketidaksolidan di internalnya.
Terbukti dari banyaknya anggota Polri yang terlibat dalam skenario yang disusun oleh Ferdy Sambo. Jika sejak awal mereka yang ikut terlibat profesional terhadap tugasnya, ia yakin kasus pembunuhan Brigadir J tak akan berlarut-larut.
"Soliditas Polri sekarang perlu dijaga, soliditas itu apa yang kita lakukan, profesionalitas. Di sini akan menghasilkan, soliditas akan menghasilkan profesionalitas dan suatu tindakan yang betul-betul sesuai perkataan dan perbuatan," ujar Jacki.
Bahkan, Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia belumlah urgen. Ketimbang melakukan revisi, ia menilai lebih penting untuk melakukan revolusi mental di internal Polri.
Perlu ada pertanggungjawaban kepada publik dari seluruh anggota yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Menurutnya, itu penting dilakukan baik secara langsung ataupun tidak langsung.
"Justru lebih penting adalah merevolusi mental di tubuh Polri," ujar Sahroni.
Reformasi terhadap Polri, bahkan menjadi desakan Komisi III yang tertuang dalam kesimpulan nomor dua rapat kerja selama 10 jam tersebut. Adapun kesimpulan pertama, Komisi III mendukung Sigit dalam penanganan tindak pidana peristiwa Duren Tiga secara profesional dan transparan.
"Dua, Komisi III mendesak Kapolri untuk melakukan perbaikan sistem, reformasi kultural, dan struktural di tubuh Polri secara terencana, terukur, objektif, prosedural, dan akuntabel," ujar Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto membacakan kesimpulan, Rabu.
Sebelum pembacaan kesimpulan yang mengakhiri rapat tersebut, Sigit mengakui bahwa kasus pembunuhan Brigadir J mencederai rasa keadilan. Di akhir rapat kerja dengan Komisi III DPR yang berlangsung sekira 10 jam, ia menyampaikan permohonan maafnya ke publik atas kasus tersebut.
Namun, atas dukungan publik membuat Polri benar-benar serius memproses kasus tersebut secara transparan dan terbuka. Pihaknya juga menindaklanjuti perintah Presiden Joko Widodo untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
"Jadi ini memang menjadi atensi dan perhatian kami, kami menyadari dan kami mohon maaf bahwa peristiwa yang terjadi ini tentunya sangat mencederai rasa keadilan publik," ujar Sigit saat memberikan jawabannya dalam rapat kerja Komisi III.
Polri, tegas Sigit, betul-betul ingin membuktikan bahwa pihaknya akan mengungkap kasus yang menjerat eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Terbukti dengan Polri yang yang juga melibatkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Kami pastikan kami dalam posisi yang betul-betul akan memproses semuanya sesuai dengan fakta yang kita temukan, dan ini merupakan bukti bahwa kami tidak pandang bulu dalam memproses kasus ini," ujar Sigit.
Kasus pembunuhan Brigadir J faktanya memang menghantam citra institusi Polri sebagai penegak hukum. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian menurun, salah satunya disebabkan adanya kasus yang melibatkan Ferdy Sambo.
"Kepolisan tahun lalu pertama tapi sekarang tren menurun. Nah artinya trust publik dinamis dipengaruhi atas kinerja dan isu yang terkait dengan masing-masing lembaga," kata Direktur Ekesekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi dalam paparan surveinya di Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Berdasarkan hasil survei, kepolisian berada di posisi paling buncit dengan tingkat kecepcayaan sebesar 54,2 persen. Setingkat di atas kepolisian adalah Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dengan tingkat kepercayaan 58,8 persen sedangkan lembaga paling dipercaya adalah kejaksaan (63,4 persen).
Dalam survei yang dilakukan September 2020 lalu, kepolisian memiliki tingkat kepercayaan 73,5 persen. Tingkat kepercayaan itu menurun pada April 2022 ke level 71,6 persen. Angka itu mulai merosot pada Mei 2022 ke angka 66,7 persen dan terus merosot hingga ke posisi survei saat ini.
Burhanuddin mengatakan, secara umum publik menilai buruk keadaan penegakan hukum di Indonesia saat ini. Rinciannya, sebesar 37,7 persen publik menilai kinerja penegakan hukum buruk. Sebaliknya sekitar 29,5 persen menilai baik.
Dia melanjutkan, persepsi positif menunjukkan tren penurunan yang cukup tajam sepanjang tahun 2022, sekitar 14-15 persen. Sebaliknya, persepsi negatif menunjukkan tren peningkatan dengan kisaran yang kurang lebih sebanding, 14-16 persen.
"Jadi isu Sambo ini membuat persepsi publik terhadap penegakan hukum itu memburuk," katanya.
Survei dilakukan terhadap sekitar 83 persen WNI dari total populasi nasional yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon. Pemilihan sampel dilakukan melalui metode random digit dialing terhadap 1.229 responden yang dipilih secara acak, tervalidasi dan screening.
Wawancara terhadap responden dilakukan melalui telepon oleh pewawancara yang dilatih. Margin of error survei diperkirakan sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, asumsi simple random sampling.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengatakan, bakal mendorong reformasi di tubuh kepolisian. Komisioner Kompolnas Wahyurudhanto mengaku telah ditugas Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk membuat analisis terkait kasus pembunuhan tersebut.
"Karena reformasi di Polri yang punya tiga aspek instrumental, struktral dan kultural dan yang pada aspek kulutral itu nggak jalan," kata Wahyurudhanto di Jakarta, Kamis.
Dia mengakui, bahwa aspek kulutral di tubuh kepolisian memang terasa kental. Wahyurudhanto yang merupakan pengajar di PTIK ini mengungkapkan, bahwa sembilan dari 35 orang yang ditahan terkait kasus Ferdy Sambo ini meruapkan sosok yang berkompetensi secara akademik.
"Tapi begitu masuk ke lingkungan, tadi ke kerajaan Sambo, yang dimaksud Pak Mahfud bukan dalam arti uang tapi dinasti di Propam itu kuat sekali karena mereka polisi, jaksa dan hakim sekaligus," katanya.