'Konflik Berpotensi Jadi Pemicu Lahirkan Terorisme'
Gerakan teroris di seluruh dunia sarat akan muatan dan cita-cita politik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik dan kekerasan seolah telah menjadi dua sisi mata uang yang mustahil dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan secara resiprokal. Di satu sisi, konflik dapat memicu eskalasi kekerasan. Di sisi lain, kekerasan juga bisa melatari terjadinya konflik.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi menjelaskan konflik horisontal seperti perang saudara sejatinya justru lebih berpotensi menjadi pemicu kepada kelompok tertentu guna melahirkan aksi teror di wilayah atau negaranya.
"Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Ini adalah contoh bagaimana konflik horisontal melahirkan berbagi aksi radikal teror," ujar Islah Bahrawi di Jakarta, Kamis (9/9/2022).
Islah melanjutkan, gerakan teroris di seluruh dunia sarat akan muatan dan cita-cita politik. Bahkan narasi ambisi politik dituangkan dalam penunggangan agama melalui dalil-dalil.
"Persoalan agama yang kemudian memasuki wilayah kepentingan politik. Inilah yang menjadi konflik di banyak negara. Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah belah dan memusuhi satu sama lain," jelasnya.
Untuk itu, ia mewanti-wanti, agar pada tahun politik 2024 tidak lagi terulang sejarah hitam demokrasi di 2014 dan 2019 lalu yang kental akan politik identitas hingga menimbulkan konflik SARA. Di sisi lain, Islah telah mendeteksi adanya gejala politisasi agama menjelang tahun politik mendatang.
"Kalau kita berbicara dari perspektif politisasi agama, pada tahun 2024 merupakan 1 abad keruntuhan khilafah terakhir tahun 1924. Artinya tahun 2024 akan menjadi titik krusial dimana politik identitas dan politisasi agama itu akan menjadi suatu pertaruhan luar biasa. Ini yang betul-betul harus diantisipasi," ucap Cak Islah, sapaan karibnya.