Puslitbang Bimas Agama Kemenag Menyongsong Era Baru
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan memasuki fase baru seiring adanya BRIN
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam merumuskan kebijakan-kebijakan, Kementerian Agama (Kemenag) merujuk pada hasil riset yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat. Khususnya dalam bidang sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan menjadi andalannya.
Kini, institusi yang biasa disebut Puslitbang Satu itu telah memasuki usia 47 tahun. Sekretaris Badan Litbang dan Diklat Kemenag Muharram Marzuki mengatakan pusat kajian itu telah banyak berkontribusi dalam menjembatani antara realitas di tengah masyarakat dan para pembuat kebijakan negara.
Selain Puslitbang Satu, Badan Litbang dan Diklat Kemenag juga memiliki beberapa unit kerja lainnya. Mereka adalah Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan; Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi; Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Administrasi; serta Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan.
Di antara berbagai prestasi Puslitbang Satu adalah perumusan mengenai pengarusutamaan sikap moderat di Tanah Air. Pada 1 Oktober 2019, Kemenag menerbitkan buku Moderasi Beragama. Buku tersebut berisi antara lain hasil kajian-kajian yang dilakukan Puslitbang Satu mengenai pelbagai fenomena keagamaan di Indonesia.
Muharram mengatakan buku Moderasi Beragama telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa seperti bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jepang, Jerman, dan Prancis. Dengan demikian, hasil pemikiran para peneliti Puslitbang Satu dapat disebarluaskan kepada sebanyak-banyaknya publik.
Antara lain berkat mereka pula, Kemenag dapat mengupayakan tema moderasi beragama agar masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Di samping itu, penerapan konsep tersebut dapat dilaksanakan mulai dari level pusat hingga daerah-daerah Tanah Air.
“Puslitbang Bimas Agama memperkuat, antara lain, pengonsepan, penerapan, dan penguatan moderasi beragama. Salah satu hasilnya adalah terbitnya buku putih Moderasi Beragama itu,” kata Muharram Marzuki saat ditemui Republika di kantor Kemenag, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mantan kepala Puslitbang Satu itu menambahkan, karya itu disebut sebagai buku putih karena memang berisi pandangan dan rumusan kebijakan negara. Di dalamnya, Kemenag memaparkan apa dan bagaimana itu moderasi beragama; mengapa Indonesia memerlukannya; serta dengan cara apa implementasi dan penguatannya dapat dilakukan. Konten buku itu mengimbau masyarakat Indonesia, dari umat agama-agama, untuk tertarik menerapkannya. Salah satunya dengan menghindari diri dan keluarga dari ekstremisme dan radikalisme.
Tentu saja, Moderasi Beragama bukan satu-satunya produk literasi yang dihasilkan. Puslitbang Satu telah menerbitkan banyak buku dan kumpulan tulisan mengenai topik-topik keagamaan dan kemasyarakatan. Sekurang-kurangnya, terdapat 400 buku yang telah diluncurkan pusat kajian itu.
Untuk menyebutkan satu contoh, Direktori Paham dan Aliran Keagamaan di Indonesia. Buku itu telah dicetak ulang berkali-kali. Di samping artikel-artikel ilmiah, Puslitbang Satu juga menghadirkan sejumlah komik. Isinya menyajikan edukasi tentang moderasi beragama dengan medium gambar dan dialog yang komunikatif, termasuk bagi kelompok anak dan remaja.
Fase Baru
Adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2019 mengawali fase baru bagi badan-badan penelitian dan pengembangan di seluruh kementerian dan atau lembaga negara. Beleid itu menjadi jalan terbentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Negara, BRIN memiliki tugas yakni menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.
Beberapa tahun berselang, terbitlah Perpres Nomor 78 Tahun 2021. Sebagai bentuk implementasinya, maka lembaga-lembaga litbang yang semula bernaung di bawah kementerian menjadi berpindah. Puslitbang Satu Kemenag pun ikut merasakan efeknya. Sejak berlakunya beleid itu, seluruh peneliti setempat berada di bawah BRIN.
Kasubag Tata Usaha Puslitbang Satu, Rizki Riyadu Topeq, mengatakan hingga kini perpindahan atau migrasi itu dalam proses. Tercatat sebanyak 23 periset telah hijrah ke BRIN sejak awal tahun ini.
“Kini, semua dalam proses perpindahan. Hadirnya Perpes itu mau tidak mau menjadikan semua litbang di kementerian/lembaga harus dilebur ke dalam BRIN. Itu berdampak kepada, antara lain, Kemenag. Litbangnya mesti dibubarkan,” ujar Rizki Topeq kepada Republika beberapa waktu lalu.
Seiring dengan itu, Puslitbang Satu dan Balitbang Kemenag pun akan berganti nomenklatur. Inilah persiapan dalam menyambut era baru. Menurut Topeq, institusi itu akan bertransformasi menjadi Badan Moderasi Beragama. Tentunya, perubahan disertai pula dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang baru.
“Ya, dalam waktu dekat nomenklaturnya akan diubah. Yang awalnya Puslitbang atau Badan Litbang menjadi Badan atau Pusat Moderasi Beragama. Konsekuensinya, secara tidak langsung menghilangkan semua hal yang terkait litbang dari Kementerian Agama RI,” kata Topeq menerangkan.
Ia memaparkan semua program penelitian yang dilakukan Balitbang dan Diklat Kemenag secara otomatis akan hilang. Barangkali, sekitar 30 atau 40 persen dari keseluruhan program riset itu akan diteruskan Badan Moderasi Beragama ketika sudah terbentuk. Topeq menengarai, implementasinya di lapangan bukan lagi penelitian melainkan cenderung pada sosialisasi, evaluasi, kajian-kajian, ataupun lokakarya (workshop).
“Paling-paling, hanya mampu meliputi 40 atau 30 persen program yang ada sebelumnya. Di antaranya adalah mengenai penguatan moderasi beragama, kerukunan umat beragama, dan kesalehan sosial,” paparnya.
Bagaimanapun, ia belum dapat memastikan kapan Badan Moderasi Beragama itu akan dibentuk. Yang jelas, lanjutnya, perpres dan keputusan menteri agama (KMA) tentang badan yang baru di lingkungan kementerian tersebut telah disusun. “Sejauh ini, perpres sudah disusun. KMA juga sudah. Tinggal ketuk palu saja,” ucap Topeq.
Maka, itulah era baru yang akan dialami Puslitbang Satu. Harapannya, institusi itu yakni dengan nomenklatur Badan Moderasi Beragama terus produktif dalam menghasilkan kajian-kajian tentang kehidupan keagamaan di Indonesia.
Jika perpres itu sudah terbit, Badan Moderasi Beragama akan dipimpin langsung Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag, Prof Suyitno. Saat dikonfirmasi Republika, alumnus UIN Syarif Hidayatullah itu membenarkan, badan yang akan terbentuk selepas “hijrah” para peneliti Puslitbang Satu masih dalam proses. “Baik secara de facto maupun de jure, posisi Balitbang Diklat Kemenag itu belum ada berubahan sebelum lahirnya perpres,” ujarnya saat dihubungi pada medio pekan lalu.
Setelah nanti resmi adanya Badan Moderasi Beragama, Prof Suyitno mengatakan pihaknya akan menyiapkan program-program jangka panjang. Pada tahap awal, akan ada pengarusutamaan moderasi di lingkungan Kemenag terlebih dahulu. Hal itu dilakukan mulai dari level pusat hingga kantor-kantor kementerian itu di daerah-daerah.
“Harus kita pastikan bahwa Kemenag ini harus clear semua, yakni aparatur sipilnya, dalam konteks moderasi beragama,” kata Suyitno.
Pada tahap selanjutnya, barulah kemudian pihaknya bermitra dengan berbagai kementerian dan lembaga lain yang terkait. Hal itu dilakukan dalam rangka pengarusutamaan moderasi beragama. Sebab, visi itu sudah termasuk dalam RPJMN 2020-2024. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun telah menyatakan dukungan penuh.
“Ini tidak berada dalam konteks atau kewilayahan Kemanag saja, tetapi juga pada kementerian dan atau lembaga yang lain. Ini program kita semua dalam jangka panjang. Maka upaya yang terus menerus mesti kita sinergikan,” jelas dia.
Sementara itu, Prof Muhammad Adlin Sila mengingatkan berbagai indeks yang telah dikembangkan Puslitbang Satu hingga kini masih dipakai di lingkungan Kemenag. Artinya, indeks-indeks itu tidak diserahkan ke BRIN.
“Hanya yang berubah itu pelaksanaannya. Sebab, kementerian itu tidak boleh lagi menyelenggarakan penelitian dan pengembangan (sejak adanya BRIN –Red),” ujar alumnus Australian National University itu kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Secara teknis, Kemenag—dalam hal ini Puslitbang Satu—dapat “meminjam” eks-peneliti yang telah berada di BRIN. Peminjaman itu, umpamanya, untuk melakukan survei-survei dalam menyusun Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB).
“Jadi, katakanlah, bersurat ke BRIN untuk menugaskan peneliti-peneliti yang dahulu di litbang (Kemenag) guna menjadi pelaksana survei itu. Mungkin, ke depannya seperti itu mekanisme pelaksanaannya. Pekerjaan dilakukan peneliti BRIN. Begitu selesai, hasilnya diserahkan kepada Kemenag,” tutur kepala Puslitbang Satu periode 2020-2022 itu.
Menuju Standardisasi
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lahir pada April 2021 berdasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2019. Kelahirannya berpengaruh bagi berbagai lembaga-negara yang memiliki badan penelitian dan pengembangan. Termasuk di antaranya adalah Kementerian Agama (Kemenag).
Salah satu andalan Balitbang Diklat Kemenag ialah Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan. Institusi yang kerap disebut Puslitbang Satu itu selama puluhan tahun merupakan “rumah” bagi para peneliti. Kini, mereka semua dalam proses hijrah ke BRIN.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Puslitbang Satu Mohsen, meleburnya para peneliti Balitbang Diklat Kemenag ke BRIN memunculkan efek plus dan juga minus. Di antara keuntungan yang dilihatnya adalah imbas yang akan dialami para peneliti. Anggaran untuk mereka akan tersentralisasi. Harapannya, kesejahteraan mereka pun dapat lebih meningkat.
“Sebab, tunjangan kinerja peneliti itu naik hampir dua kali lipat dari sebelumnya ketika mereka masih berada di kementerian,” ujar Mohsen saat berbincang dengan Republika beberapa waktu lalu.
Kemudian, perpindahan para peneliti Puslitbang Satu ke BRIN pun akan mengarahkan mereka agar memiliki standardisasi. Hal itu terutama penting bagi kerja proses penelitian. Sementara itu, lanjut Mohsen, selama ini semua litbang di berbagai kementerian mempunyai standar masing-masing. “Nah, itu (standar sendiri-sendiri) tidak akan terjadi lagi. Sebab, semuanya fokus pada satu standar yang dikeluarkan oleh BRIN,” jelas dia.
Dalam melaksanakan survei, misalnya, Puslitbang Satu selama ini cenderung menelaah fenomena-fenomena keagamaan di tengah masyarakat. Sesudah para penelitinya melebur ke BRIN, akan ada kajian lintas disiplin yang mereka hadapi atau ikuti.
Bagi Mohsen, interdisciplinary merupakan sebuah tantangan yang bagus di dunia riset. Dalam pelaksanaan survei di lapangan untuk menemukan indeks kerukunan, umpamanya, hal itu akan turut memperkaya kontribusi keilmuan.
“Kalau minusnya, mungkin cuma satu, yaitu kita (Kemenag) harus bersurat saja. Kalau dulu, menag bisa langsung menginstruksikan kalitbang untuk melaksanakan penelitian. Sekarang, harus bersurat dulu ke BRIN,” tutup dia.