Tragedi Kanjuruhan, Spesialis: Orang Tua Jangan Ajak Anak Balita ke Stadion
Spesialis minta orangtua jangan ajak anak balita ke stadion akibat tragedi Kanjuruhan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan dilaporkan mencapai 125 orang. Mayoritas korban adalah orang dewasa, namun ada pula anak-anak hingga remaja yang juga tewas.
Menanggapi banyaknya korban anak dalam tragedi ini, Dokter Spesialis Anak, dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A menuturkan, efek gas air mata jauh lebih berat dirasakan anak-anak dibandingkan orang dewasa. Hal ini lantaran kapasitas paru anak yang masih terbatas.
"Kapasitas paru yang masih terbatas membuat efek gas air mata jadi lebih berat dirasakan oleh anak-anak," kata dia mengutip cuitan di Twitter atas izin yng bersangkutan, Senin (3/10/2022).
Ia pun mengingatkan, agar orang tua tidak mengajak anak-anak di bawah 5 tahun terutama bayi untuk ikut nonton pertandingan bola secara langsung. "Jangan bawa anak nonton bola langsung di stadion, jika usia anak masih di bawah lima tahun, apalagi bayi. Suara riuhnya pertandingan langsung bisa merusak pendengaran bayi," pesan dokter Denta.
Karena, sambung Denta, untuk menonton pertandingan yang digelar malam hari bersama anak bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak. Hal tersebut justru membuat lelah anak.
"Karena terlalu melelahkan buat anak juga. Tidak usah juga bawa anak untuk nonton pertandingan dengan risiko rusuh tinggi. Selalu hindari kerumunan," kata dia.
Bila ingin membawa anak pun adalah yang usia sudah di atas lima tahun. Orang tua juga harus paham terlebih dahulu dengan kondisi stadion seperti lay-out stadion, akses masuk-keluar, flow penonton, flow evakuasi, titik kumpul dan lain-lain. Selain itu, anak juga harus dibekali gelang nama berisi kontak orang tua dan nomor yang bisa dihubungi.
"Ini untuk menjaga kalau anak terlepas dari orang tua atau pengasuh," kata dia.
Ia juga menyarankan agar orangtua yang membawa anak untuk datang dan pulang lebih awal. Meskipun di luar negeri biasanya disarankan pulang paling akhir menunggu sebagian besar pada keluar.
"Namun rasanya jika di Indonesia sebaiknya sebelum pertandingan berakhir sudah keluar stadion. Keselamatan anak di atas kesenangan orang tua," ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebutkan sebanyak 17 anak meninggal dan 7 lainnya masih menjalani perawatan di rumah sakit akibat tragedi yang terjadi usai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab terjhadap anak-anak yang mendadak yatim piatu akibat tragedi Kanjuruhan.
Retno mengatakan, gas air mata sangat berbahaya bagi anak. Karena Efek yang dirasakan dari gas air mata memang sangat fatal untuk anak, yaitu: di kulit: rasa terbakar, di mata: rasa perih, keluar air mata, di saluran pernapasan: hidung berair, batuk, rasa tercekik, di saluran pencernaan: rasa terbakar yang parah di tenggorokan, keluar lendir dari tenggorokan, muntah. Bahkan, jika serbuk tersebut masuk hingga ke paru-paru: menyebabkan napas pendek dan sesak napas.
“Itulah mengapa penggunaan gas Air mata tersebut dilarang oleh FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion,” ujar Retno.
Retno melanjutkan, sejak awal panitia memang sudah mengkhawatirkan pertandingan ini dan meminta kepada Liga (LIB) agar pertandingan dapat diselenggarakan sore hari untuk meminimalisir resiko. Tetapi sayangnya pihak Liga menolak permintaan tersebut dan tetap menyelenggarakan pertandingan pada malam hari.
“Memang membawa anak-anak dalam kerumunan massa sangat berisiko, apalagi di malam hari, karena ada kerentanan bagi anak-anak saat berada dalam kerumunan, karena kita tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam kerumunan tersebut. Namun, masyarakat mungkin membutuhkan hiburan setelah pandemic sudah berlangsung 2 tahun,” urai Retno.
Oleh karenanya KPAI mendesak Pemerintah untuk segera melakukan penyelidikan terhadap tragedi ini dengan membentuk tim penyelidik independen . KPAI juga mendorong Kapolri untuk melakukan evaluasi secara tegas atas tragedi ini.
Pemerintah Pusat dan Daerah terkait diminta untuk bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan, Malang. Tak sekedar santunan, namun rehabilitasi psikis bagi para korban, terutama anak-anak yang saat ini masih dirawat di rumah sakit.
“Begitupun bagi anak-anak yang orangtuanya meninggal saat tragedy ini butuh dukungan negara, karena mereka mendadak jadi yatim atau bahkan yatim piatu, tulang punggung keluarganya ikut menjadi korban tewas dalam peristiwa ini,” pungkas Retno.