Antara Hillsborough dan Kanjuruhan

Harus ada perubahan setelah Tragedi Kanjuruhan.

Republika/Wihdan Hidayat
Gabungan suporter berdoa bersama untuk korban tragedi Kanjuruhan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa (4/10/2022).
Red: Joko Sadewo

Oleh : Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal itu terpatri di kenangan sepak bola Inggris, 15 April 1989. Lokasinya di Stadion Hillsborough di Sheffield. Sore itu, pada menit-menit awal pertandingan final Piala FA antara Liverpool melawan Nottingham Forest, pejabat kepolisian membiarkan masuk ratusan pendukung Liverpool ke dalam bagian stadion yang awam disebut The Pen. Ia dikasih nama demikian karena mirip dengan kandang ayam. Tak ada tempat duduk individual, dan dikelilingi pagar besi untuk memisahkan pendukung beda klub.

Pendekatan itu diambil dengan pertimbangan pencegahan kekerasan. Masa-masa itu, hooliganisme marak betul di Inggris dan seperti di Indonesia, aparat menilai pendukung sepak bola brutal semua sehingga harus dikerangkeng seperti itu. Yang terjadi kemudian, bagian stadion itu jadi penuh sesak dan orang-orang terinjak-injak. Sebanyak 94 orang meninggal di tempat, tiga lainnya menyusul kemudian.

Sepak bola Inggris mencapai titik terendahnya. Ia diperkirakan tak mungkin hidup lagi dengan sentimen negatif setelah kejadian itu. Dalam bahasa Jason Cowley di bukunya  The Last Game: Love, Death And Football, sepak bola Inggris mencapai titik tak bisa lagi kembali ke belakang.

Dan titik krusial itu, adalah pelaksanaan investigasi yang dipimpin Lord Justice Taylor. Investigasi atas kejadian Hillsborough itu berlangsung selama sebulan penuh.

Baca juga : Kapolri Beberkan 6 Fakta Penyidikan Tragedi Kanjuruhan

Salah satu kesimpulan penting dari laporan itu, kesalahan aparat kepolisian dalam melakukan kontrol massa adalah penyebab utama kejadian tersebut. Alasan aparat yang mengemuka saat itu, bahwa pendukung Liverpool yang memicu kerusuhan dinilai tak sebegitu relevan. Kesimpulan lainnya, ada faktor tata stadion yang memang berbahaya pada saat-saat krusial tersebut.

Dari laporan-laporan itu, sejumlah perubahan-perubahan signifikan dilancarkan. Tak boleh lagi ada pagar besi pembatas di semua stadion di Inggris. Seluruh penonton di stadion wajib mendapat tempat duduk sesuai tiket. Tak boleh lagi ada bagian di mana pendukung hanya bisa menyaksikan pertandingan dengan berdiri.

Sementara aparat kepolisian didesak melakukan perubahan pendekatan. Jika awalnya pendekatan yang dilakukan dari kacamata kekerasan, selanjutnya faktor keselamatan penonton yang harus diutamakan terlebih dulu, apapun kondisinya.

Dari laporan Taylor dan langkah-langkah yang dilakukan selepasnya, sepak bola Inggris tak jadi mati. Sebaliknya, profesionalisme yang ditekankan setelah tragedi mengundang kucuran dana untuk Liga Inggris. Dari titik itu, sepak bola Inggris malih jadi industri raksasa yang mendunia, mencuri pemain-pemain terbaik dunia dari Liga Italia dan Liga Spanyol yang telah lebih dulu mentereng. Tribalisme tetap tak hilang dari sepak bola Inggris, tapi ia tak lagi mematikan.

Baca juga : 6 Orang Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan, Ini Kronologinya

Hari-hari belakangan di Indonesia, ada semangat serupa di antara para suporter. Di Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Palangkaraya, Jayapura, Palembang, para suporter yang biasanya berseteru larut dalam doa dan kedukaan bersama-sama.

Mereka-mereka yang tak pernah dibayangkan bisa duduk bersama, nyatanya berkumpul. Di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, kemarin berkumpul ribuan suporter rangkuman Brajamusti dan The Maident dari Yogyakarta, Paserbumi dari Bantul, Slemania dan BCS dari Sleman; Pasoepati, Ultras, dan GK Samber Nyawa dari Solo; Panser Biru dan Snex  dari Semarang;  Aremania dari Malang , Bonek  dari Surabaya, The Jakmania dari Jakarta, serta Bobotoh dan Viking dari Bandung; juga perwakilan dari suporter PSMS Medan dan PSM Makassar.

"Kita akan membuat sejarah bahwa kita suporter yang hadir pada malam hari ini akan menghentikan semua kebencian-kebencian yang ada dalam hati kita," kata Presiden Brajamusti Yogyakarta Muslich Burhanuddin saat berorasi dalam acara doa bersama tersebut. 

Banyak yang bakal meminta pertandingan-pertandingan liga Indonesia disetop selepas duka di Kanjuruhan kemarin. Saya tak sepakat. Seperti setelah Hillsborough, investigasi harus lekas. Yang salah harus dibilang salah apapun warna seragamnya itu malam. Kemudian, rombak sistem pengamanan dan tegaskan skema keselamatan penonton.

Setelah itu, biarkan orang-orang ini, para suporter sepak bola Indonesia bertemu kembali di stadion. Mereka harus bicara di antara mereka soal apa-apa yang salah selama ini. Saling bertanya kabar dalam koor yang selalu bikin merinding itu: "Piye...piye…piye kabareee??"

Baca juga : Kapolri: Verifikasi Stadion Kanjuruhan Terakhir Dilakukan pada 2020

Duka yang sebegini akbar, saya yakini, tak boleh sia-sia. Seperti di Hillsborough, ia harus jadi kekuatan perubahan yang signifikan. Hanya dengan begitu, ratusan yang direnggut hidupnya Sabtu malam kemarin bisa kita hormati sepantasnya. Hanya dengan begitu, mereka-mereka yang berpulang bisa kita tinggikan statusnya sebagai syuhada, sebagai pahlawan.


*) Fitriyan Zamzami adalah penonton sepak bola Indonesia. Pendukung Persipura Jayapura namun sempat tergabung dalam firma pendukung PS Sleman.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler