Kelewat Mahal, Apakah Saham BBCA Masih Layak Koleksi?
BBCA melaporkan laba bersih sebesar Rp 10,9 triliun di kuartal III 2022.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi salah satu yang paling banyak diminati oleh investor. Namun dari sisi valuasi, harga saham BBCA saat ini dinilai sudah terlalu mahal.
Apakah BBCA masih layak dikoleksi? Sebagai informasi, BBCA saat ini diperdagangkan pada 1,5 SD PBV historis.
Menurut analis Samuel Sekuritas Indonesia Prasetya Gunadi dan Jonathan Guyadi, saham emiten yang dimiliki juga oleh keluarga Hartono ini masih cukup menarik lantaran risiko kreditnya yang rendah dan fakta BBCA merupakan salah satu institusi perbankan terbaik di Asia.
“Kami masih menyukai BBCA hingga saat ini. Namun, menurut kami valuasinya saat ini cukup tinggi. Karenanya, kami mempertahankan rating NETRAL untuk BBCA dan TP sebesar Rp 9.400 per saham, menyiratkan PBV 2023 sebesar 4,7x,” kata Prasetya dan Jonathan dalam risetnya dikutip Ahad (23/10/2022).
Dari sisi kinerja, BBCA membukukan kinerja yang positif dan sesuai dengan proyeksi Samuel Sekuritas. BBCA melaporkan laba bersih sebesar Rp 10,9 triliun di kuartal III 2022, tumbuh sebesar 9,2 persen QoQ dan 24,7 persen yoy.
Laba bersih BBCA sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini pun terdongkrak menjadi sebesar Rp28,9 triliun atau tumbuh sebesar 24,8 persen yoy. Net Interest Income (NII) perseroan meningkat menjadi sebesar Rp16,3 triliun atau tumbuh sebesar 6,7 persen QoQ dan 17,6 persen yoy di kuartal III 2022.
Peningkatan ini didukung oleh pertumbuhan kredit yang lebih baik serta penurunan beban bunga. Segmen korporasi masih menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit BBCA di kuartal III 2022 yang mencatat pertumbuhan sebesar 13,4 persen yoy.
Kredit investasi dan modal kerja naik masing-masing sebesar 13,4 persen yoy dan 11,1 persen yoy. Tingkat pemanfaatan pinjaman modal kerja juga meningkat dari 54 persen di kuartal II 22022 menjadi sebesar 58 persen di kuartal III 2022. Biaya provisi BBCA turun menjadi Rp191 miliar di kuartal III 2022 seiring dengan membaiknya LAR perseroan menjadi 11,7 persen.
Dalam pertemuan analis, Samuel Sekuritas menyebut, manajemen BBCA menekankan depresiasi rupiah tetap menjadi risiko utama ke depan, karena hal tersebut dapat mendorong BI untuk menaikkan BI7DRRR dengan lebih agresif. BBCA memperkirakan the Fed akan melanjutkan kebijakan agresif hingga semester I 2023 sebelum memulai siklus penurunan suku bunga di kuartal IV 2023.
Namun, BBCA masih cukup yakin pihaknya akan mampu mempertahankan tingkat TD berkat likuiditasnya yang melimpah. Perseroan masih tetap optimistis dapat membukukan pertumbuhan kredit sebesar 12 persen pada tahun depan, naik dari 10 persen pada tahun ini didukung dengan meningkatnya permintaan kredit seiring dengan perbaikan ekonomi setelah pandemi.
Sementara pinjaman konsumen diperkirakan masih menerima efek limpahan dari lonjakan harga komoditas, karena hal itu menciptakan pasar tenaga kerja baru yang terdiri dari pekerja dari daerah Jawa dan luar Jawa.
Setelah merilis laporan keuangan kuartal III 2022, BBCA kini optimistis dapat mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 10 persen pada 2022, didukung oleh segmen korporasi terutama perusahaan telco, infrastruktur, dan pertambangan. BBCA juga menaikkan panduan untuk NIM menjadi di kisaran 5,2-5,3 persen dari sebelumnya 5,0 persen.
Terkait CoC, BBCA memperkirakan angkanya akan turun menjadi 1,0 persen pada 2022. Meski BBCA belum memberikan panduan resmi untuk 2023, perseroan optimistis akan mencapai pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dan setidaknya mempertahankan tingkat NIM-nya.