Perlu Cek Ureum-Kreatinin untuk Tegakkan Diagnosis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal
Dokter RSCM ungkap pasien gangguan ginjal akut datang dalam kondisi tak bisa kencing.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Nefrologi KSM Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo dr Eka Laksmi Hidayati SpA(K) mengatakan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dapat dilakukan tenaga kesehatan dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut progresif atipikal.
Ia menjelaskan sebetulnya pemantauan jumlah urine cukup akurat sebagai salah satu kriteria dalam mendiagnosis acute kidney injury (AKI).
"Tetapi bila tidak bisa memeriksakan secara akurat betul-betul hitungan (urine) mililiternya, maka kita harus melakukan pemeriksaan ureum-kreatinin," kata dr Eka dalam webinar medis "Kewaspadaan dan Deteksi Dini Gangguan Ginjal Akut Atipikal pada Anak" di Jakarta, Selasa (25/10/2022).
Menurut dr Eka, temuan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA)/acute kidney injury progresif atipikal di RSCM menunjukkan mayoritas para pasien mengalami peningkatan kadar urine-kreatinin yang tinggi. Pada anak usia satu hingga 17 tahun, normalnya kadar ureum antara tujuh hingga 20 mg/dL.
Melalui pemeriksaan darah, kreatinin bayi normalnya berkisar antara 0,3 – 1,2 mg/dL. Lalu, pada balita, kadar normalnya 0,2 – 0,4 mg/dL dan pada anak 0,3 – 0,7 mg/dL.
"(Pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal di RSCM) tertinggi itu 400 ureumnya dan kreatinin itu 15. Padahal, kita ingat bahwa ini adalah pasien-pasien kecil yang usianya kurang dari lima tahun dengan ureum kreatinin yang demikian tinggi," kata dr Eka.
Dr Eka menjelaskan tim ahli telah melakukan berbagai penelusuran penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal. Pada akhirnya, mereka mencurigai intoksikasi senyawa etilen glikol (EG), merujuk pada kepustakaan dan kasus yang terjadi di Gambia, Afrika Barat.
Menurut dr Eka, biasanya pasien dengan intoksikasi etilen glikol menunjukkan kristal kalsium oksalat dalam urine. Namun, pada kasus yang ditemui di RSCM, dr Eka mengatakan pasien datang dalam keadaan tidak ada urine sehingga pihaknya tidak dapat melakukan pemeriksaan kristal kalsium oksalat.
"Umumnya akan ada kristal, tapi kristal ini pada pasien kami sulit dikerjakan karena pasien-pasien memang datang dalam kondisi tidak ada urine yang bisa kami periksakan. Biasanya bila ada kristal, dia (kristal kalsium oksalat) akan bisa bertahan enam hingga 10 hari," katanya.
Penyebab dan tata laksana pengobatan
Dr Eka menjelaskan pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap sisa sediaan obat, darah, dan urine pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal di RSCM. Hasilnya, terdeteksi etilen glikol dan beberapa juga terdeteksi dietilen glikol. Sejumlah tata laksana pun dilakukan untuk menghilangkan senyawa tersebut.
"Setelah itu, maka kami berikan tata laksana yang sesuai untuk intoksikasi, yaitu untuk suportifnya kami berikan natrium bikarbonat," kata dr Eka.
Natrium bikarbonat berperan dalam mengoreksi asidosis dan mencegah perubahan glycolic dan asam oksalat menjadi glycolate dan oxalate. Terkait dengan intoksikasi, dr Eka mengatakan pihaknya tidak melakukan tindakan bilas lambung mengingat pasien-pasien sudah terlalu lama meminum obat yang diduga mengandung etilen glikol.
"Jadi kami memberikan natrium bikarbonat untuk mengoreksi asidosis, lemudian belakangan baru kami tahu bahwa thiamin dan piridoksin itu juga direkomendasikan sehingga kami juga memberikannya," katanya.
Selain itu, pihaknya juga memberikan obat penawar femopizole setelah mempelajari studi kepustakaan. Sementara dari sisi nefrologi untuk menghilangkan etilen glikol dan metabolitnya, pihaknya juga melakukan hemodialisis atau cuci darah.
- gagal ginjal akut
- gangguan ginjal akut progresif atipikal
- acute kidney injury
- ureum
- kreatinin
- pemeriksaan ureum kreatinin
- keracunan etilen glikol
- intokikasi etilen glikol
- etilen glikol
- diagnosis gangguan ginjal akut progresif atipikal
- penyebab gagal ginjal akut
- gangguan ginjal akut misterius
- fomepizole
- obat gagal ginjal akut