Kehidupan Sosial dan Strata Sosial di Arab
Kehidupan Sosial dan Strata Sosial di Arab, kedudukan wanita pada zaman jahiliyah, kedudukan wanita pada masa islam
Tipologi Penduduk Bangsa Arab Sebelum Islam
Jazirah Arab yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Islam, dahulunya merupakan suatu wilayah yang terdiri banyak kabilah yang gemar berperang. Keadaan ini dapat dijelaskan berdasar keadaan geografi yang membentuk karakter masyarakat kabilah di Arabia. Syalabi membagi bangsa Arab ke dalam dua bagian penting, pertama penduduk gurun pasir, kedua penduduk negeri.
1. Penduduk Gurun Pasir
• Bagian tengah Jazirah Arab seperti di wilayah Najed (Kaum Badui)
• Hidup secara nomaden
• Berani, bebas, kuat
• Hidup sederhana dan membatasi kebutuhannya hanya pada hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebiasaan
• Nasab dan bahasa arabnya masih murni
• Pergaulan sosial yang baik
• Setia kepada kawan, mampu menepati janji, dan mempunyai tabiat yang jujur dan lugas - Hubungan ashabiyah mereka lebih kuat karena di dasari hubungan asahbiyah kekeluargaan dan kekerabatan
• Karena dipenuhi dengan tantangan, keprihatinan, dan jauh dari kemewahan, mereka lebih dapat mengontrol nafsu syahwatnya terhadap dunia
2. Penduduk Negeri
• Di Jazirah Arab pinggiran atau di beberapa bagian selatan seperti Bahrain, Oman, Mahrah, Hadramaut, Yaman, dan Hijaz
• Hidup secara menetap dan membentuk kota-kota
• Ikatan ashabiyah mereka tidak terlalu kuat karena tidak sepenuhnya didasari atas asas kekeluargaan
• Sering melakukan interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan bangsa luar sehingga berakibat pada ramainya pelabuhan-pelabuhan yang mereka miliki
• Mereka mudah dikotori oleh kejahatan dan perbuatan tercela - Kehidupan yang stabil dan mapan, membuat mereka sering terjerumus ke dalam nafsu syahwat keduniawian
• Adanya percampuran budaya berakibat pada perubahan bahasa, budaya, perilaku sosial, dan keturunan penduduk negeri sehingga tidak murni lagi
Kedudukan Wanita pada Masa Jahiliyah
Bangsa Arab jahiliyah menerima kehadiran wanita dengan dua cara yang berbeda.
• Mayoritas mereka menguburkan anak wanitanya hidup-hidup sebab seiring dengan itu mereka beranggapan terkubur jugalah segala aib yang menimpa dirinya
• Tradisi lainnya, yaitu dengan tetap memelihara anak itu, namun dilakukannya secara tidak adil dan jauh dari nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan).
Nasib para isteri pada masa Arab jahiliyah tidak ubahnya seperti harta benda, yang juga dapat diwariskan. Al-Bukhari menceritakan bahwa bila seorang laki-laki (suami) meninggal dunia, maka anak laki-lakinya mempunyai hak penuh atas ibu mereka (isteri laki-laki yang meninggal). Salah seorang anaknya mungkin justru menikahinya, bila dia (wanita itu) mau. Atau dapat juga mereka menikahkannya dengan laki-laki yang mereka sukai. Mereka bahkan mungkin mencegahnya untuk menikah lagi. Apabil ia hendak menikah lagi, maka harus membayar sejumlah uang kepada mereka.
Kedudukan Perempuan Setelah Datangnya Islam
Islam datang dengan keadilan dan persamaan antara lelaki dan perempuan serta menghormati harkat dan martabatnya. Dengan itu, Islam memperluas ruang peran dan memenuhi hak-hak perempuan secara sempurna, menghargai kemanusiaan, keuliaan dan derajatnya, mengakui keterlibatannya bersama lelaki di segala bidang pekerjaan dan tugas-tugasnya, kecuali pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan harkat dan kodratnya sebagai perempuan. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1 yang artinya :
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa / 4:1).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia laki- laki dan perempuan itu asalnya dari satu nafs. Perkembangan manusia sampai saat ini asalnya dari Allah SWT. Hakikat kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Laki-laki dikaruniai pikiran dan hati, begitu pula dengan perempuan. Tidak ada keterangan satu pun yang menyatakan bahwa perempuan itu berjiwa separuh dari laki-laki. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu”. Ayat-ayat tersebut dengan jelas dan terperinci menerangkan kepada manusia, laki-laki dan perempuan yang bertakwa kepada Allah untuk memperoleh ampunan dan pahala. Allah tidak membedakan hamba-Nya berdaqwakan jenis kelamin untuk memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya
Ashabiyah
Ashabiyah berasal dari kata ashab yang berarti hubungan dan kata ishab yang berarti ikatan. Ashabiyah mempunyai 5 bentuk antara lain:
• Hubungan kekerabatan dan keturunan, ini adalah ashabiyah paling kuat.
• Persekutuan yang terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya ke garis keturunan orang lain.
• Kesetiaan yang terjadi karena peralihan dari satu garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan lain karena kondisi sosial.
• Penggabungan yaitu larinya seseorang dari keluarga dan kabilahnya dan bergabung pada keluarga dan kabilah lain.
• Perbudakan yang timbul dari hubungan antara para budak dan kaum mawāli dengan majikan-majikan mereka
Ashabiyah di satu sisi mempunyai makna positif bagi peradaban yang menunjukkan persatuan dan persaudaraan. Hal inilah yang mendorong terciptanya keadilan sosial dan membangkitkan semangat memajukan peradaban. Namun sisi negatif dari ashabiyah adalah fanatisme yang berlebihan tanpa melihat kebenaran dan membutakan mereka terhadap nilainilai dan moral baik keagamaan. Mereka biasanya sesuka hati melawan suku-suku lain tanpa berlandaskan agama, bahkan dalam al-Fatwa al-Khairiyyah persaksian atas dasar ashabiyah karena seseorang membenci orang lain dan orang tersebut masuk dalam kelompok A atau B tidak akan diterima dan di haramkan.8 Setelah adanya Islam, peran ashabiyah masih terbilang terlihat jelas. Kekuatan ashabiyah secara umum telah membantu Nabi SAW untuk menyebarkan Islam di Arab. Nabi saw. dan Islam telah memperkuat solidaritas sosial antar masing-masing kelompok ashabiyah dan juga mempersatukan kelompok kabilah yang bertentangan di Jazirah Arab di bawah payung agama Islam
Fase-Fase Tentang Pertentangan Kesetaraan Sosial:
Fase pertama, yaitu masa Khalifah Umar bin Khattab dalam hal pembagian ghanimah. Berlanjut pada masa Khalifah Uṡmān bin Affān saat penunjukkan pejabat penting di pemerintahannya yang dianggap oleh beberapa ahli sebagai sikap nepotis, meskipun ada beberapa ahli yang menyebutkan sikap Uṡmān sebagai sikap yang wajar dan proporsional.
Fase kedua, saat terjadinya perpecahan umat Islam pada masa Khalifah ‘Alī bin Abī Ṭālib, yang nantinya menjadikan umat Islam terpecah dalam beberapa kelompok besar.
Fase ketiga yaitu sebagai fase puncak perpecahan, adalah pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, di mana mereka saling klaim sebagai keturunan atau kabilah yang paling berhak menjabat sebagai khalifah. Oleh karenanya kesuksesan Nabi saw. dalam berkuasa dan berdaulat atas nama Islam, secara sosial dan politik membuat hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. dianggap sebagai ukuran kemuliaan. Hal ini pun masih bisa kita rasakan sampai sekarang, seperti di Indonesia.
Pembagian Strata Sosial Di Zaman Kekhalifahan Umayyah
1. Strata Muslim
a. Orang Muslim Arab
Menempatkan orang-orang arab di bagian inti pemerintahan seperti kekhalifahan, para wali, pasukan, aristokrat, ulama
b. Mawali (Orang muslim non arab)
Terdiri dari orang-orang Persia, Turki, Barbar dan Ras lain, mereka harus mengikuti kepentingan para pemimpin mereka yaitu kecintaan pada golongan dan ras
c. Budak
Banyak dipekerjakan dalam bidang kesenian dan sastra seperti musik, tarian, gambar dan syair
d. Badui yang tinggal di sahara
Orang-orang badui dikenal bodoh dan tidak bisa membaca-menulis. Mereka adalah strata terakhir di bani umayyah. Mereka memiliki bahasa arab paling fashih dan paling bagus waktu itu. Nabi juga pernah hidup bersama orang badui hingga bahasa nabi juga sangat bagus. Termasuk imam syafii.
2. Strata Non Muslim Atau Dzimmi
Pembagian non muslim ini terdiri dari orang kristen, Yahudi dan majusi serta agama lain. Pada masa bani umayyah masyarakat muslim dan non muslim hidup berdampingan tanpa masalah. Mereka saling hidup dengan toleransi yang tinggi. Dan ini juga disebabkan karena banyaknya negara asing yang dibebaskan oleh muslim. Pada masa dinasti umayyah terdapat strata sosial di masyarakat. Dan strata ini akhirnya menjadi senjata makan tuan yang akhirnya memperburuk keemasan dinasti umayyah sendiri dan akhirnya runtuh. Secara istilah, dzimmi (bahasa Arab: ذمي ,majemuk: الذمة أهل ,ahlul dzimmah, "orang-orang dzimmah") adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam yang, sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan. Hukum mengenai dzimmi berlaku di sebuah negara yang menjalankan Syariah Islam. Kata dzimmi sendiri berarti "perlindungan". Status dzimmi mulai berlaku di daerah daerah Islam dari Samudera Atlantik hingga India sejak zaman Muhammad pada abad ke-7 hingga zaman modern. Dari waktu ke waktu, banyak orang dzimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama secara sukarela. Menurut Qur'an Surat At Taubah ayat 29,[5] orang-orang dzimmi diharuskan membayar pajak yang disebut jizyah, dan tidak boleh diperangi oleh orang Islam. Orang-orang dzimmi yang membayar jizyah diperbolehkan menjalankan ibadah agama mereka, menerima otonomi komunal, harus dilindungi oleh umat Islam jika ada serangan dari luar, dibebaskan dari wajib militer, dibebaskan dari membayar zakat serta pajak-pajak yang dikenakan pada umat Islam.
Kasta pada Masyarakat Arab
Di dalam masyarakat Arab sendiri terdapat struktur sosial yang berpengaruh penting di bidang sosial politik, yaitu keutamaan Bani Hasyim. Keluarga Bani Hasyim seringkali mendapatkan perlakuan khusus di dalam masyarakat, misalnya mereka diberikan gaji pensiun dan dibebaskan dari pajak sosial (shadaqah), dan berhak atas bagian dari harta rampasan perang (fai atau ghanimah).
Keutamaan keluarga Quraisy masih menjadi perdebatan, terutama dalam bidang politik. Hal ini disebabkan karena setidaknya ada empat Hadits yang menyebutkan keutamaan etnik Quraisy. Di antara Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya:”Para imam di antara kamu sekalian adalah dari golongan Quraisy, karena sesungguhnya mereka itu (akan bertindak) benar terhadap kamu sekalian, dan kalian juga (akan berlaku baik) terhadap mereka yang demikian itu jika kalian menyayangi maka mereka pun menyayangi, jika mereka berjanji ditepati, jika mereka menjalankan hukum mereka adil. Barangsiapa dari mereka yang menyalahi hal ini maka atasnya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia.”
Struktur sosial berdasarkan usia juga menjadi gejala umum masyarakat ketika itu. Yang senior mendapatkan kesempatan lebih utama baru para yunior, dan ukuran senior dan yunior diukur berdasarkan usia, bukannya pertimbangan-pertimbangan lain. Pengecualian terjadi dalam beberapa hal, misalnya dalam suksesi kerajaan, seseorang bisa saja menggantikan ayahnya sebagai penguasa kalau ayahnya meninggal, meskipun umurnya masih muda.
Masa Mu'awiyah dan Abbasiyah
Pada masa Mu'awiyah dan Abbasiyah faktor Arab dan non-Arab, faktor keturunan (keturunan orang-orang merdeka atau budak), keturunan Quraisy atau bukan, tidak lagi menjadi dominan. Sejumlah besar khalifah kedua dinasti tersebut ibunya berasal dari keturunan budak, non-Arab, non-Quraisy. Ibn Hazm mencatat hal menarik, bahwa di antara dinasti Abbasiyah hanya tiga khalifah putra dari perempuan merdeka (hurrah), Ibu Khalifah Al Mansur, ayah Khalifah Al-Mahdi, namanya Sallamah adalah seorang budak Barbar. Beberapa ibu dari Khalifah Abbasiyah, seperti Khalifah Al-Ma`mun (ke-7) Khalifah Al-Muntasir (ke-11), Khalifah Al-Musta’in (ke-12), Khalifah Al-Muhtadi (ke-14) adalah budak-budak berkebangsaan Romawi, dan ibu Khalifah Al Mutawakkil (ke-10) adalah budak dari Turki.