'Tragedi Gugurnya Ratusan Petugas KPPS Berpotensi Terulang di Pemilu 2024'
Jika tragdei gugurnya KPPS terulang bisa disebut sebagai pelanggaran HAM.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, peristiwa ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia saat Pemilu 2019 berpotensi terulang saat Pemilu 2024. Sebab, regulasi yang menjadi acuan penyelenggaran pemilunya masih sama.
"Dengan undang-undang yang sama, maka beban kerja petugas KPPS sebagai indikator kelelahan yang menimbulkan kematian dan sakitnya penyelenggara pemilu mungkin masih akan terjadi," kata Komisioner Komnas HAM Hairansyah saat konferensi pers daring terkait 'Pemantauan Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara Pra Pemilu Serentak 2024 Dalam Perspektif HAM', Kamis (10/11/2022).
Sebagai informasi, Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 sama-sama mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Saat Pemilu 2019 diketahui ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia, yang salah satu faktor penyebabnya adalah kelelahan karena beban kerja tinggi. Terdapat pula 1.000 lebih petugas yang jatuh sakit.
Hairansyah mengatakan, ihwal meninggalnya petugas KPPS dalam jumlah masif ini menjadi perhatian utama Komnas HAM. Dia mengingatkan penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk mencegah peristiwa itu terjadi kembali saat Pemilu 2024.
"Makanya dari sekarang kami mendorong agar ada upaya perbaikan regulasi maupun teknis agar peristiwa sama tidak berulang kembali," ujarnya.
Dia menegaskan, jika peristiwa kematian massal petugas KPPS benar terjadi kembali saat Pemilu 2024, hal itu terjadi karena kelalaian penyelenggara pemilu. Sebab, penyelenggara pemilu tidak melakukan perbaikan regulasi teknis, menyediakan fasilitas dan anggaran, serta menyiapkan langkah mitigasi.
"Sehingga akhirnya Komnas HAM, bisa mengatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM dalam Pemilu 2024," ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM pada Komnas HAM itu.
Untuk mencegah peristiwa pilu itu terjadi kembali, Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi kepada KPU. Pertama, penggunakan teknologi informasi untuk memudahkan tugas-tugas penyelenggara. Dengan begitu, beban kerja petugas KPPS bisa berkurang.
Kedua, perbaiki proses pengadaan dan pendistribusian logistik pemilu agar tidak ada lagi kasus surat suara tertukar maupun logistik terlambat sampai di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini penting karena berkaitan langsung dengan keselamatan dan kesehatan petugas KPPS.
"Temuan kami saat Pemilu 2019, keterlambatan logistik membuat petugas KPPS harus menunggu, bahkan sampai pagi. Padahal mereka harus mengurus pencoblosan, perhitungan, dan rekapitulasi suara di pagi hari. Kekuatan fisik mereka terkuras," kata Hariansyah.
Ketiga, KPU perlu membuat aturan panduan penyelenggaran terkait aspek kesehatan petugas, terutama saat hari pencoblosan. Dengan adanya panduan ini, diharapkan petugas KPPS memperhatikan kesehatan mereka sedari awal.
Hairansyah mengatakan, aturan panduan itu harus memuat soal ketentuan jam kerja. Harus ada pula ketentuan terkait asupan petugas KPPS. Misalnya acuan berapa gelas kopi yang bisa mereka konsumsi saat hari pencoblosan. Termasuk pula batasan konsumsi rokok. Selain itu, perlu pula rekomendasi jenis vitamin yang bisa mereka konsumsi.
Keempat, KPU harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan terkait kesiapan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan saat hari pencoblosan. Sebelumnya, KPU telah menyiapkan sejumlah upaya untuk mencegah gugurnya petugas KPPS saat Pemilu 2019.
Salah satunya adalah mendesain TPS hanya untuk 300 pemilih maksimal sehingga total durasi pencoblosan hanya enam jam. KPU juga berencana membuat formulir perhitungan suara atau biasa disebut formulir C1 dalam format digital.