Kemenkop: RUU Perkoperasian akan Dorong Pembentukan Otoritas Pengawasan Koperasi
Otoritas pengawasan koperasi akan jadi lembaga independen
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) Ahmad Zabadi mengungkapkan, pengawasan untuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) akan dilakukan satu lembaga bernama Otoritas Pengawasan Koperasi atau OPK. Hal itu tertuang dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian.
"Nantinya akan dibentuk sebuah institusi pengawasan tersendiri yang independen, atau tidak di bawah kedeputian di Kemenkop," ujar Zabadi dalam keterangan resmi, Rabu (7/12). Ia memastikan, OPK akan didesain tidak sepenuhnya diisi orang-orang Kemenkop, melainkan ada perwakilan dari gerakan koperasi dan stakeholder lainnya.
"Kita ada benchmark di beberapa negara seperti AS dan Jepang. Pengawasan koperasi dilakukan dengan cara seperti ini. Tidak di bawah otoritas semacam OJK, dan tidak di bawah bank sentral," jelasnya.
Maka, Zabadi memastikan pengawasan KSP sepenuhnya berada di bawah Kemenkop alias tidak di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal itu sudah ditegaskan dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) serta RUU Perkoperasian.
"Yang diatur di RUU PPSK itu, koperasi yang existing berada di sektor keuangan. Artinya, RUU PPSK itu hanya mengatur koperasi yang bersifat open loop," ujar dia.
Zabadi melanjutkan, hanya koperasi yang bersifat open loop pengawasannya berada di bawah OJK. Contoh, BPR yang dimiliki koperasi, LKM yang berbadan hukum koperasi, dan asuransi berbadan hukum koperasi, termasuk bila nanti ada koperasi kripto, atau koperasi yang bergerak di sektor pinjaman online.
"Itu semua merupakan koperasi yang bersifat open loop. Maka proses perizinan dan pengawasannya berada di bawah OJK," tuturnya.
Sementara koperasi yang sifatnya close loop, kata Zabadi, yang murni KSP. "KSP itu hanya yang dari, oleh, dan untuk anggota koperasi, serta tidak boleh menyelenggarakan kegiatan di luar usaha simpan pinjam," jelas dia.
Maka, Zabadi menyatakan, nantinya akan diatur rasio modalnya, rasio penyaluran, rasio BMPK-nya, dan sebagainya. "Permodalan KSP tidak boleh dominan dari luar. Harus dominan dari anggota. Begitu dapat modal dari luar secara dominan, masuk kategori open loop," katanya.
Dicontohkan, bila 60 persen sumber modalnya dari luar, itu masuk kategori open loop, sementara bila hanya 20 sampai 30 persen masih close loop. "Kira-kira seperti itu pengaturannya. Tapi, berapa pastinya prosentase permodalan KSP akan kita atur," tuturnya.
Menurut Zabadi, terminologi koperasi yang open loop dan close loop itu hanya untuk memudahkan pemahaman saat membahas RUU PPSK. "Jadi, jelas tergambar, mana koperasi yang harus diawasi OJK dan mana yang tidak," tegas dia.
Terkait keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi, Zabadi menyebutkan, bagi pihaknya dan seluruh gerakan koperasi, keberadaan LPS Koperasi ini akan menjadi komitmen esensial hadirnya negara untuk melindungi simpanan anggota koperasi.
Ia melanjutkan, keberadaan LPS Koperasi akan menempatkan koperasi lebih equal dengan lembaga keuangan lain seperti perbankan.
"Sehingga, kita melihat urgensinya LPS Koperasi ini layak dituangkan ke dalam RUU Perkoperasian," katanya. Zabadi mengakui sudah ada komitmen bersama dengan Kementerian Keuangan untuk merumuskan satu model LPS bagi koperasi.
"Makanya, saya setuju hadirnya LPS Koperasi ini harus didukung pengawasan yang efektif melalui OPK," tegas dia. Zabadi menambahkan, RUU Perkoperasian tidak perlu harus masuk ke dalam Prolegnas, karena ini RUU kumulatif terbuka.
"Begitu kami siap, mendapat persetujuan Presiden RI, kemudian diajukan ke DPR untuk dibahas. Saya berharap awal 2023 sudah bisa masuk DPR," tegasnya.