Kritisi Soal Subsidi Kendaraan Listrik, Ketua Banggar Khawatirkan akan Jadi Beban APBN

Saat ini masyarakat belum terbentuk dengan ekosistem kendaraan listrik

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Seorang pria memasukkan uang koin Rp500 untuk mengisi daya baterai sepeda motor listriknya di SPKLU Charger kendaraan, (ilustrasi).
Rep: Amri Amrullah Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menyoroti kebijakan subsidi kendaraan listrik baru-baru ini oleh pemerintah. Menurutnya, saat ini APBN sangat terbebani dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM), apalagi ketika APBN sangat sensitif dengan perubahan harga minyak dunia, dikhawatirkan subsidi ini akan jadi beban bagi APBN.

“APBN kita juga memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan harga minyak dunia. Atas rencana ini, sebagai mitra kerja pemerintah pada bidang anggaran, maka saya berkewajiban memberikan beberapa pertimbangan strategis," kata Said, Senin (19/12/2022).

Politisi PDI-Perjuangan ini menjelaskan saat ini masyarakat belum terbentuk dengan ekosistem kendaraan listrik. Ketergantungan dengan pasokan BBM masih sangat tinggi, terutama dalam hal bahan bakar kendaraan. Dari sisi suplai, menurut dia, ekosistem listrik nasional juga tidak berkembang baik.

Walaupun ia mengapresiasi rencana besar pemerintah untuk percepatan peralihan kebijakan transportasi berbasis listrik, namun ketergantungan terhadap BBM itu masih sangat besar. Kondisi inilah, yang menurut dia, menjebak bangsa ini puluhan tahun, sektor transportasi dan industri dibiarkan memakai banyak BBM, sehingga defisit BBM kian melebar.

Ia mengatakan harus diakui, ada ekosistem kebijakan energi dan transportasi yang tidak saling menopang (mismatch), padahal keduanya terikat pada suplai dan permintaan. Dari sisi suplai energi nasional, lanjut Said, terpenuhi dari batu bara (67 persen), BBM (15 persen), Gas (8 persen), LPG, Biomassa, dan lainnya sebesar 5 persen, dan listrik non batubara (5 persen).

Pada sisi permintaan atas energi, sektor transportasi mengonsumsi 41 persen, industri 39 persen, rumah tangga 15 persen, sektor bisnis 4 persen. Sektor transportasi yang mengonsumsi energi nasional terbesar justru ditopang dari BBM, padahal kontribusi BBM jauh lebih rendah dibandingkan dengan suplai sisi batu bara yang menjadi kekuatan energi nasional.

“Kita terlambat bertransformasi ketika pada tahun 1997 beralih posisi dari negara pengekspor menjadi pengimpor minyak bumi. Kian tumbuhnya sektor transportasi dan industri, namun tidak diimbangi dengan moda konsumsinya yang seharusnya bertumpu pada listrik," jelasnya.

Kini dihadirkan kebijakan pemerintah, salah satunya melalui Perpres No 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan. Arahnya untuk mendorong terciptanya ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), khususnya motor dan mobil.

Maka Said berharap dipersiapkan lebih dahulu ekosistemnya. Ekosistem kendaraan listrik ini menyangkut lingkungan strategis untuk menopang tumbuhnya inovasi produk, kesiapan teknologi dan bahan baku. Termasuk juga investasi, infrastruktur pendukung seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang ultra fast charging dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU).

Sehingga ketika kebijakan itu diterapkan, ketergantungan masyarakat terhadap BBM sudah siap ditinggalkan. “Ke semua perangkat strategis ini harus tumbuh bersama secara pararel,” tegasnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler