PBB Desak Taliban Cabut Kebijakan yang Kekang Perempuan Afghanistan

Kebijakan Taliban terhadap perempuan bisa menimbulkan konsekuensi serius

EPA-EFE/STRINGER
Taliban berjaga di luar Universitas Kabul di Kabul, Afghanistan, 21 Desember 2022. Taliban yang berkuasa telah melarang perempuan untuk kuliah di Afghanistan, menurut perintah yang dikeluarkan pada 20 Desember 2022. Setelah mendapatkan kembali kekuasaan, Taliban awalnya bersikeras bahwa hak-hak perempuan tidak akan diberikan. terhalang, sebelum melarang anak perempuan di atas usia 12 tahun untuk bersekolah awal tahun ini. Utusan PBB untuk Afghanistan, Roza Otunbayeva, sekali lagi mengutuk penutupan sekolah menengah untuk anak perempuan, sebuah langkah yang katanya berarti tidak akan ada lagi siswa perempuan yang memenuhi syarat untuk masuk universitas dalam waktu dua tahun.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Volker Turk mendesak Taliban segera mencabut serangkaian kebijakan mereka yang mengekang kehidupan perempuan dan anak perempuan di Afghanistan. Dia memperingatkan, kebijakan-kebijakan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi serius, tak hanya bagi Afghanistan, tapi juga negara di sekitarnya.

“Tidak ada negara yang dapat berkembang, bahkan bertahan, secara sosial dan ekonomi, dengan setengah populasinya dikecualikan,” kata Turk dalam sebuah pernyataan, Selasa (27/12/2022), dilaporkan laman Al Arabiya.

Dia secara khusus menyoroti keputusan terbaru Taliban yang melarang perempuan Afghanistan bekerja di organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). “Melarang perempuan untuk bekerja di LSM akan merampas pendapatan mereka dan keluarga mereka, serta hak mereka untuk berkontribusi secara positif bagi pembangunan negara mereka dan kesejahteraan sesama warga mereka,” ucap Turk.

Di sisi lain, Turk berpendapat, larangan tersebut akan secara signifikan mengoyak, bahkan menghancurkan, kapasitas LSM yang beroperasi di Afghanistan untuk memberikan layanan penting mereka. “Keputusan terbaru oleh otoritas de facto ini akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi perempuan dan seluruh rakyat Afghanistan,” katanya.

Menurutnya, pembatasan tak terduga terhadap kaum perempuan Afghanistan tidak hanya akan meningkatkan penderitaan keseluruhan warga di negara tersebut. “Saya khawatir ini menimbulkan risiko di luar perbatasan Afghanistan,” ujarnya.

Turk mengatakan, serangkaian kebijakan Taliban yang mengekang kehidupan perempuan Afghanistan berisiko membuat situasi di negara tersebut tak stabil. “Saya mendesak otoritas de facto untuk memastikan penghormatan dan perlindungan hak-hak semua perempuan serta anak perempuan (Afghanistan) untuk dilihat, didengar, dan untuk berpartisipasi serta berkontribusi pada semua aspek kehidupan sosial, politik dan ekonomi negara,” ucapnya.

Dia mengingatkan, hak bawaan anak perempuan dan perempuan tidak dapat disangkal. “Upaya oleh otoritas de facto (Afghanistan) untuk mendegradasi mereka menjadi diam dan tidak terlihat tidak akan berhasil,” ujar Turk.

Pada 24 Desember lalu, Taliban telah memerintahkan LSM lokal dan asing di Afghanistan untuk tidak membiarkan staf perempuan di lembaga mereka bekerja hingga pemberitahuan lebih lanjut. Perintah tersebut tak berlaku langsung untuk PBB. Namun banyak dari program PBB dilaksanakan oleh LSM yang harus tunduk pada keputusan Taliban.

Sejak perintah pelarangan dirilis akhir pekan lalu, sudah terdapat lima LSM asing yang mengumumkan akan menangguhkan pekerjaan atau operasinya di Afghanistan. Mereka antara lain Christian Aid, Save the Children, the Norwegian Refugee Council, CARE, dan The International Rescue Committee.

Juru bicara Kementerian Ekonomi Taliban Abdulrahman Habib mengatakan, pelarangan perempuan Afghanistan bekerja di LSM diberlakukan karena sejumlah pegawai tidak mematuhi interpretasi pemerintah tentang aturan berpakaian Islami bagi perempuan. Habib menyebut larangan itu bakal diterapkan hingga pemberitahuan lebih lanjut.

Keputusan Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja di LSM domestik maupun internasional diambil kurang dari sepekan setelah mereka mengumumkan pelarangan kuliah bagi kaum perempuan di sana. Menteri Pendidikan Tinggi Taliban Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan itu diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus melanggar prinsip-prinsip Islam.

“Para perempuan belajar tentang pertanian dan teknik, tetapi ini tidak sesuai dengan budaya Afghanistan. Anak perempuan harus belajar, tetapi tidak di bidang yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afghanistan," kata Nadim dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Afghanistan, 22 Desember lalu.


sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler