Mantan Pimpinan KPK: Perppu Ciptaker Sangat Sombong dan Menantang Putusan MK
Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto sebut Perppu Ciptaker menantang putusan MK.
REPUBLIKA.CO.ID, Mantan Pimpinan KPK Sebut Penerbitan Perppu Ciptaker Bentuk /State Captured Corruption/
JAKARTA--Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menyebut penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai salah satu bentuk state captured corruption.
State captured corruption didefinisikan sebagai pemanfaatan negara dalam menyusun kebijakan yang membiarkan terjadinya perilaku koruftif. Bambang mengatakan, penerbitan Perppu Ciptaker ini menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Ciptaker sebagai inkonstisional.
"Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 menantang Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 untuk tidak menyebutnya 'mengorupsi' hingga dapat disebut sebagai state captured corruption," ujar Bambang dalam keterangannya, Senin (2/1/2023).
Bambang mengatakan, MK dalam putusannya memerintahkan untuk memperbaiki UU Ciptaker dalam jangka waktu dua tahun. Namun, alih-alih memperbaiki, Pemerintah justru menerbitkan Perppu.
"Penerbitan Perppu juga dapat dikualifikasi sebagai suatu sikap dan perilaku yang bersifat melecehkan, menyepelekan dan mendekonstruksi marwah dan kehormatan Mahkamah Konstitusi," kata dosen Pascasarjana Universitas Djuanda tersebut.
Bambang pun menyoroti alasan pemerintah yang menyebut terdapat kegentingan memaksa pada situasi perekonomian saat ini sehingga perlu diterbitkan Perppu. Alasan ini juga kontradiktif dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan baik.
Karena itu, Bambang menyebut, justifikasi kekosongan hukum sebagai dasar pembuatan Perppu sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Selain itu, ketidakpastian geopolitik tidak dapat dijadikan dasar kegentingan memaksa dan mengugurkan status inkonstitusional UU Ciptaker.
Ia pun menyebut, kekuasaan telah melakukan subversi dengan cara menyabotase pelaksanaan Putusan MK melalui penerbitan Perppu tersebut. Padahal Putusan MK memerintahkan dilakukannya revisi UU Ciptaker dan mewajibkan dilakukannya pastisipasi publik secara penuh.
"Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dapat dituding sebagai salah satu perilaku koruptif dari kekuasaan yang menegaskan wajah otoritarianismenya," ujarnya.
Bambang menilai, tindakan ini tidak didasari untuk melindungi kepentingan kemasalahatan. "Perppu ini sangat sombong dan menantang Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional Bersyarat yang mensyaratkan dilakukannya pelibatan partisipasi publik penuh," katanya.