DPR Nilai Kebijakan Baru Pajak Penghasilan belum Memihak Masyarakat Menengah Bawah

Masyarakat berpenghasilan menengah-bawah masih berada pada kondisi pemulihan ekonomi

BPS
Masyarakat berpenghasilan menengah-bawah masih berada pada kondisi pemulihan ekonomi, (ilustrasi).
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, menurutnya Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta per bulan tidak signifikan dalam melindungi masyarakat berpenghasilan menengah bawah.

“Tetapi justru sebaliknya, pada PP ini range masyarakat berpenghasilan di atas Rp 5 juta hingga 20 juta per bulan dikenakan pajak sebesar 15 persen, menjadi kurang adil, masih banyak kalangan pekerja dan milenial yang fresh graduate yang berpenghasilan sedikit di atas Rp 5 juta, dikenakan tarif pajak cukup besar 15 persen,” kata Anis dikutip dari laman resmi DPR, Jumat (6/1/2023).
 
Politikus PKS tersebut mengatakan bahwa kebijakan perpajakan ini kurang tepat diberlakukan sekarang, daya beli masyarakat masih rendah dan belum pulih. Tingkat inflasi meningkat tajam, harga kebutuhan pokok yang terus naik dan tidak stabil. Menurutnya saat ini, uang gaji sebagian pekerja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Anis menyinggung usulan POKS pada 2019 terkait batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 8 juta per bulan atau kumulatif Rp 96 juta per tahun. Artinya, karyawan yang menerima penghasilan atau gaji Rp 8 juta kebawah terbebas dari PPh. Menurutnya usulan ini memberikan ruang perlindungan yang luas kepada masyarakat berpenghasilan menengah-bawah yang masih berada pada kondisi pemulihan ekonomi pascaCovid-19.

 “Untuk merangsang perekonomian ke arah yang lebih baik, seharusnya Pemerintah menggunakan instrumen fiskal secara selektif diantaranya pemotongan pajak, untuk golongan pekerja berpendapatan tertentu. Bukan malah sebaliknya, dengan menerapkan pajak yang tinggi bagi golongan menengah-bawah,” ujar Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR RI ini.

Menurut Anis ada beberapa catatan terkait kebijakan penyesuaian pajak penghasilan tersebut antara lain: perekonomian Indonesia stagnan dalam kurun lima tahun terakhir, Indonesia pernah memasuki fase resesi ekonomi selama empat triwulan atau satu tahun.

"Perekonomian nasional masih menghadapi tekanan dari kondisi ekonomi global saat ini, terlihat dari banyaknya PHK dan penutupan usaha, juga imbas kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2022, masih sangat memengaruhi tingginya harga berbagai kebutuhan pokok yang kian memberatkan masyarakat," katanya.

Selanjutnya Legislator Dapil DKI Jakarta I ini mengatakan kenaikan PTKP belum cukup kuat mendongkrak daya beli masyarakat. Pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah merespon perlambatan ekonomi saat itu dengan menaikkan PTKP masing-masing 48 persen dan 50 persen.

Baca Juga


Namun, menurutnya efektivitasnya dalam mendorong perekonomian melalui konsumsi rumah tangga belum signifikan, tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang stagnan hanya di kisaran lima persen. Pada pernyataan tertulisnya, Anis juga menyebut masalah kepatuhan pajak, sehingga rasio pajak Indonesia rendah hanya 9,11 persen PDB.

"Berdasarkan data para karyawan inilah yang kepatuhan pajaknya tinggi sebesar 98,73 persen sementara kepatuhan Korporasi hanya 61 persen demikian juga WP kaya hanya 45,53 persen, Pemerintah seharusnya bisa fokus dengan PPN ketimbang meningkatkan tarif PPh. Ruang peningkatan PPN masih terbuka lebar, selain tentunya penegakan hukum bagi para pengemplang pajak yang tidak patuh," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler