Pakai Madu Sebagai Pengganti Gula, Kolesterol dan Gula Darah Jadi Lebih Terkontrol

Madu dari bunga apa pun bisa menawarkan manfaat asalkan pemrosesannya tepat.

www.pixabay.com
Madu (ilustrasi). Secara substansi, madu dan gula sama-sama merupakan karbohidrat. Akan tetapi, keduanya memiliki profil nutrisi, tekstur, dan rasa yang berbeda.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru menunjukkan manfaat kesehatan penggunaan madu sebagai pengganti gula. Konsumsi madu mentah dari satu sumber bunga disinyalir dapat meningkatkan kontrol gula darah dan menurunkan kadar kolesterol.

"Hasil ini mengejutkan karena madu mengandung sekitar 80 persen gula," kata peneliti senior dalam studi tersebut, Tauseef Khan, yang merupakan periset di bidang nutrisi dari Fakultas Kedokteran Temerty Universitas Toronto.
 
Khan menggarisbawahi bahwa penelitiannya tidak menyarankan madu bagi orang yang tengah menghindari gula. Dia dan tim peneliti lebih menyoroti tentang "penggantian". Mengganti gula pasir, sirup, atau pemanis lain dengan madu dapat menurunkan risiko kardio-metabolik.

Khan menjelaskan, madu adalah komposisi kompleks dari gula, asam organik, enzim, protein, asam amino, mineral, vitamin, dan zat bioaktif yang dibuat oleh lebah madu dari nektar bunga. Secara substansi, madu dan gula sama-sama merupakan karbohidrat. 

Madu dan gula sama-sama terbuat dari glukosa dan fruktosa, tetapi masing-masing memiliki profil nutrisi, tekstur, dan rasa yang berbeda. Untuk mendapat hasil perbandingan konsumsi madu dan gula, tim melakukan tinjauan sistematis dan metaanalisis dari 18 uji klinis.

Seluruhnya melibatkan sekitar 1.100 peserta. Dalam penelitian, tim menggabungkan hasil dari semua uji coba konsumsi madu pada peserta manusia serta kaitannya dengan penyakit metabolisme. Madu yang ditinjau terdiri dari beragam jenis dan varian.

Khan menyarankan untuk mendapatkan madu mentah dari peternakan lebah setempat. Madu dari bunga apa pun bisa menawarkan manfaat, seperti yang berasal dari tanaman semanggi serta robinia atau acacia bisa. Akan tetapi, pemrosesan madu harus menjadi perhatian.

Khan lebih menyarankan konsumsi madu mentah yang disaring tanpa dipanaskan. Pemrosesan madu yang melibatkan penyaringan dan proses memanaskan bisa merusak madu, membuat madu kehilangan banyak senyawa bioaktif sehingga akan kehilangan sejumlah efek baik.

Keterbatasan lain dari penelitian adalah kurangnya data dari berbagai varietas madu. "Banyak penelitian menggunakan madu polifloral, yang merupakan madu campuran dan tidak ada yang tahu dari mana asal bunga itu," ujar Khan.

Baca Juga


Juru bicara nasional Academy of Nutrition and Dietetics, Emma Laing, berpendapat penelitian yang digagas Khan kuat dari sudut pandang ilmiah, namun butuh lebih banyak penelitian lanjutan. Data dari penelitian tunggal tidak bisa menjamin adanya perubahan dalam rekomendasi konsumsi madu, terutama mengenai klaim dampaknya terhadap kontrol glikemik dan kadar lipid.

Laing mencatat, hasil kesehatan yang menguntungkan tidak berpusat pada asupan satu makanan saja, seperti madu. Kondisi kesehatan prima terkait dengan pola diet yang holistik.

Misalnya, seseorang perlu rutin mengonsumsi sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, produk susu rendah lemak atau tanpa lemak, daging tanpa lemak dan unggas, makanan laut, dan minyak sayur tak jenuh. Perubahan pola makan pun sebaiknya dikonsultasikan dengan profesional medis.

Direktur dietetika di University of Georgia itu mengingatkan pula bahwa beberapa orang mungkin memiliki reaksi alergi terhadap komponen tertentu dalam madu. Madu pun dinyatakan tidak aman untuk bayi di bawah usia 12 bulan.

"Madu disebut-sebut sebagai 'lebih sehat' dalam beberapa nutrisi, namun, gula mungkin lebih disukai berdasarkan rasa dan keterjangkauan," ungkap Laing, dikutip dari laman Fox News, Senin (9/1/2023).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler