UU Perlindungan Konsumen Disarankan Mencakup Pidana Penjara

Substansi Undang-Undang Perlindungan Konsumen memang sudah banyak yang ketinggalan.

DPR
Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul mengatakan substansi Undang-Undang Perlindungan Konsumen saat ini memang sudah banyak yang ketinggalan. (ilustrasi).
Rep: Wahyu Suryana Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Keahlian (BK) Sekjen DPR RI menerima masukan Fakultas Hukum UGM terkait perubahan UU Perlindungan Konsumen. Kepala BK DPR RI, Inosentius Samsul mengatakan, dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU ada mekanisme dan substansi.

Hal itu disampaikan Inosentius dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Setjen DPR RI di FH UGM. Sensi menilai, FGD ini salah satu bentuk keterlibatan akademisi, pemangku dan masyarakat.

Khususnya, dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang. Sensi berharap, kesempatan ini betul-betul dimanfaatkan untuk mencatat masukan-masukan dari masyarakat serta terjadi adanya pengawalan yang terus-menerus ke proses.

Mulai dari persiapan naskah akademik sampai pada pembahasan di komisi dengan pemerintah nanti. Artinya, tidak berhenti hari ini, tapi terus bergulir kepada proses penyiapan naskah akademik sampai ke proses pembahasan di DPR RI nanti.

Selain dari segi mekanisme, segi substansi penting dalam menyusun NA dan RUU. Apalagi, terhadap kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dinilai memang sudah saatnya untuk lebih disesuaikan dengan masyarakat Indonesia kini.

Ia menilai, substansi Undang-Undang Perlindungan Konsumen memang sudah banyak yang ketinggalan. Baik itu ukuran kebutuhannya, standar hukum secara nasional maupun secara internasional. Terlebih, jika dibandingkan negara-negara lain.

"Jadi, kalau kita bandingkan dengan negara lain, norma hukum perlindungan konsumen kita sudah banyak ketinggalan," kata Sensi, Ahad (15/1/2023).

Padahal, ia mengingatkan, manusia Indonesia tidak berbeda jauh dari konsumen negara-negara lain. Karenanya, Sensi merasa, harus diperbaiki standar kualitas agar lebih memanusiakan masyarakat, termasuk dalam UU Perlindungan Konsumen.

"Belum lagi soal doktrin-doktrin yang akan kita kembangkan dalam standar nasional untuk ada pembaruan," ujar Sensi.

Di sisi lain, Sensi menyampaikan, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat umum, sepenuhnya sebagai hukum bisnis. Dengan kata lain, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat publik.

Meski transaksi dalam perdagangan bersifat privat yang seolah hanya berkaitan dengan persoalan perdata, namun transaksi tersebut memiliki nilai-nilai publik. Sehingga, ia merasa, sanksi pidana menjadi penting dalam perlindungan konsumen.

Ia melihat, praktik di beberapa negara menggunakan sanksi pidana lebih efektif karena perusahaan atau pelaku usaha takut jika namanya tercemar lalu dipidana. Pasalnya, Sensi menekankan, dipenjara sesuatu yang akan mempengaruhi bisnis.

"Jadi, memang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap akan ada sanksi pidana. Tapi, formulasinya bagaimana dikombinasikan dengan sanksi administrasi itu akan dilakukan dan tetap ada," kata Sensi.

Sensi menambahkan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia belum pula menerapkan unsur tanggung jawab mutlak (strict liability). Sedangkan, negara-negara lain sudah menerapkan itu. Ia menilai, UU KUHP sudah mulai mengadopsi wacana itu.

"Saya merasa dukungan yang kuat kemarin ketika UU KUHP itu sudah mengadopsi itu. Jadi, tidak ada keraguan lagi. Perdata oke, pidana oke. Jadi, berjalan selaras," ujar Sensi.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler