Komisi III DPR Sebut LPSK Luput dari Kasus Perkosaan di Lahat

Komisi III DPR meminta LPSK lebih proaktif sehingga korban perkosaan tak diintimidasi

wonderslist.com
Kasus pemerkosaan (ilustrasi). Komisi III DPR RI melakukan rapat kerja bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman berharap, LPSK bekerja proaktif dalam memberikan perlindungan dan advokasi kepada masyarakat.
Rep: Wahyu Suryana Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI melakukan rapat kerja bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman berharap, LPSK bekerja proaktif dalam memberikan perlindungan dan advokasi kepada masyarakat.


Habib memberikan contoh kasus, korban pelecehan seksual yang menuntut keadilan. Karenanya, ia mendorong kerja LPSK lebih menjemput bola. Habib menyoroti salah satu perkara yang benar-benar mengusik hati nurani dan terjadi di Lahat, Sumsel.

"Sejauh ini saya lihat, apa luput dari LPSK, yaitu perkara perkosaan remaja di Lahat, Sumatera Selatan, di mana pelakunya dituntut sangat ringan, divonis juga sangat ringan, lalu keluarganya mencari keadilan terlunta-lunta," kata Habib, Senin (16/1).

Pada kesempatan itu, Komisi III DPR RI membahas evaluasi kinerja dan capaian LPSK pada 2022 dan rencana kerja pada 2023 ini. Lalu, membahas program prioritas dan strategi dalam pencapaian serta Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2023.

Ia menekankan, lembaga negara harus bekerja maksimal dalam memberi perlindungan kepada korban, jangan sampai korban terintimidasi. Selain itu, lembaga penegak hukum harus membangun kepercayaan agar masyarakat bisa mengadukan masalahnya.

Kemudian, LPSK dapat memberikan perlindungan yang sebaik-baiknya. Apalagi, ia mengingatkan, seperti kasus di Lahat, korban tidak mencari keadilan ke lembaga-lembaga formal seperti LPSK. Maka itu, vonis ringan karena terjadi kelalaian.

"Tidak maksimal memberikan perlindungan kepada korban, sehingga yang secara struktural keluarga korban lemah, bisa diintimidasi, bisa ditekan dan dipaksa menerima vonis yang begitu ringan," ujar Habib.  

Ia menekankan, korban yang merasa hilang kepercayaan kepada lembaga penegak hukum akhirnya mengadukan masalah tersebut kepada advokat tokoh-tokoh publik. Sedangkan, lembaga negara yang punya kewajiban melindungi warga justru absen.

Padahal, yang wajib didatangi justru merupakan lembaga negara, lembaga negara juga yang harus bisa menjamin keadilan bagi warga negaranya. Habib meminta aspek-aspek seperti itu dimaksimalkan, salah satunya dengan cara jemput bola.

Artinya, lanjut Habib, sejak awal persidangan dipantau kinerja jaksa sampai jaksa berhubungan dengan siapa. Ia berharap, perkara semacam ini tidak lagi terulang dan bisa diantisipasi karena semuanya kecolongan dalam kasus ini.

"Ini kita agak sedikit kecolongan, tidak hanya LPSK, kami juga kecolongan. Ini semacam otokritik. Tapi, kita berharap LPSK di kasus-kasus semacam ini bisa lebih maksimal lagi ke depan," kata Habib.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler