Asumsi Sistem Proporsional Tertutup dan Potensi Turunnya Partisipasi Pemilih

Pemilih dinilai sudah terbiasa mengikuti pileg dengan sistem proporsional terbuka.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Febrianto Adi Saputro

Baca Juga


Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang lanjutan gugatan uji materi atas ketentuan penggunaan sistem proporsional terbuka. Jika MK mengabulkan gugatan tersebut alias memutuskan pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, apakah partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 bakal anjlok? 

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, partisipasi pemilih berpotensi turun jika sistem proporsional tertutup alias pemilih hanya coblos partai diterapkan kembali. Sebab, pemilih sudah terbiasa mengikuti pileg dengan sistem proporsional terbuka di mana mereka bisa mencoblos caleg yang diinginkan. 

Kendati begitu, dia memperkirakan penurunannya tidak akan signifikan. Penurunan partisipasi pemilih hanya akan terjadi pada kalangan pemilih kritis. 

"(Sebab) pemilih kritis sudah terbiasa memilih calon anggota legislatif (Caleg) yang mereka nilai kompeten untuk duduk di parlemen," kata Hurriyah kepada Republika, dikutip Selasa (17/1/2023). 

Menurutnya, penurunan partisipasi pemilih kritis ini bakal diwujudkan dengan cara tidak memilih alias golput pada Pemilu 2024. Bisa juga mereka memanifestasikan kekecewaan atas sistem proporsional tertutup itu dengan melakukan protest vote atau mencoblos dengan cara yang salah. 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009, 2014, dan 2019. 

Sedangkan sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Sementara itu, peneliti senior di Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menyebut penerapan kembali sistem proporsional memang berpotensi menurunkan partisipasi pemilih. Berdasarkan data dari pemilu sebelumnya, kata dia, pemilih lebih banyak mencoblos caleg dari pada partai. 

"Ketika berubah jadi sistem proporsional tertutup, tentu mereka akan kecewa. Kekecewaan itu bisa terwujud dengan tidak memilih. Jadi ada potensi menurunkan partisipasi pemilih," kata Hadar kepada Republika

 

 

Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana mengaku khawatir judicial review terhadap UU Pemilu yang mengusulkan agar sistem  pemilu menjadi proporsional tertutup menguatkan karakteristrik otoritarian Orde Baru. Menurutnya, sistem proporsional tertutup menghadirkan kader jenggot yang mengakar ke atas dan tidak mewakili masyarakat pemilihnya. 

"Saya khawatir petitumnya kan menghilangkan frasa terbuka menjadi proporsional yang dimaknai tertutup, kalau ini dilakukan maka saya khawatir ini menguatkan karakteristrik otoritarian Orde Baru," kata Denny dalam sebuah diskusi, Selasa (17/1/2023). 

Denny menilai, partai yang mengusung sistem proporsional tertutup bukan untuk membangun sistem pemilu, melainkan lebih kepada hitung-hitungan matematis potensi kemenangan mendapatkan kursi lebih banyak apabila menggunakan sistem proporsional tertutup.

"Jadi ini kan bukan jangka panjang, bukan membangun sistem, tetapi hanya jangka pendek dirasa ini lebih menguntungkan maka itulah yang kemudian didorong," ujarnya.

Denny menjelaskan model semacam itu tidak tepat. Apalagi sistem proporsional tertutup tidak bisa menguatkan relasi antara pemilih dengan anggota parlemen pilihannya. 

"Jadi dia melemahkan, tidak bisa juga menguatkan pendidikan politik rakyat," ungkapnya. 

Gugatan uji materi atas pileg sistem proporsional terbuka ini dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satu di antaranya adalah kader PDIP. Para penggugat meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional terbuka melanggar UUD 1945, dan memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Gugatan uji materi ini belakangan menjadi ‘bola panas’ usai Ketua KPU RI ikut berkomentar. Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari memprediksi MK bakal memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Merespons pernyataan Hasyim itu, delapan partai parlemen dan PSI mendukung sistem proporsional terbuka. Sedangkan PDIP, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Buruh mendukung sistem proporsional tertutup. 

Tak hanya menyatakan sikap mendukung salah satu sistem, partai dari kedua kubu ini juga mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam sidang MK. PKS, Nasdem, dan PSI mengajukan diri sebagai pihak terkait agar MK tidak mengabulkan gugatan penggugat. Sedangkan PBB menjadi pihak terkait untuk mendukung dalil penggugat. 

MK menggelar sidang lanjutan atas gugatan uji materi sistem pileg itu pada hari ini, Selasa (17/1/2023). Namun, sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR, Presiden, dan pihak terkait KPU itu hanya berlangsung sekitar 10 menit. 

Dalam sidang singkat secara daring itu, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan bahwa sidang ditunda dan akan digelar kembali dengan agenda sama pada Selasa (24/1/2023). MK memutuskan menunda sidang setelah mendapat sepucuk surat dari pimpinan DPR, yang isinya meminta sidang digelar secara luring atau tatap muka.

"MK menerima surat dari DPR yang ditandatangani Sekretaris Jenderal atas nama pimpinan, yang pada intinya memohon agar sidang yang semula dilaksanakan secara daring atau online diubah jadi luring di ruang sidang MK," kata Anwar. 

Anwar mengatakan, sidang lanjutan secara luring pada pekan depan itu diagendakan untuk mendengar keterangan DPR, Presiden, pihak terkait KPU. Dalam sidang itu akan disampaikan pula jadwal sidang untuk mendengar keterangan dari 11 pihak terkait. 

 

Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler