Restrukturisasi Kredit Diperpanjang, Ini Alasan OJK

Restrukturisasi kredit telah diakui banyak pihak menjadi bantalan tepat di era covid.

ANTARA/Reno Esnir
Pekerja menjemur kerupuk di Menteng Atas, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto mengatakan, restrukturisasi kredit telah diakui banyak pihak menjadi bantalan tepat di era Covid-19.
Rep: Iit Septyaningsih Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto mengatakan, restrukturisasi kredit telah diakui banyak pihak menjadi bantalan tepat di era Covid-19. Maka, permintaan agar kebijakan itu terus diperpanjang pun berdatangan.

Baca Juga


"Selalu dikejar-kejar agar terus diberlakukan. Jadi kami perpanjang satu tahun, lalu perpanjang satu tahun lagi, tidak dinormalisasikan," ujar dia dalam seminar virtual, Kamis (19/1/2023).

Dia menjelaskan, perpanjangan tersebut mempertimbangkan potensi cliff effect atau efek jurang pada industri perbankan. Jika restrukturisasi kredit terlalu cepat berhenti, kata dia, akan menimbulkan efek kejut.

"Terjadi kredit crunch (kegentingan) yang menghambat pemulihan ekonomi," jelasnya.

Anung menuturkan, restrukturisasi kredit untuk sektor dan wilayah tertentu tersebut diperpanjang dengan mempertimbangkan berbagai kondisi. Hal itu seperti tensi geopolitik yang masih tinggi antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga komoditas.

Perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut, lanjutnya, juga telah mempertimbangkan pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19. Sekaligus besaran paparan kondisi perekonomian global terhadap perekonomian nasional. Di sisi lain, lanjut dia, kebijakan restrukturisasi kredit juga tidak bisa terus diperpanjang.

"Karena akan menimbulkan moral hazard, budaya tidak membayar, budaya mengemplang, dan budaya membayar seenaknya oleh kreditur,” tegas Anung.

Menurutnya, berdasarkan survei Dana Moneter Internasional (IMF) sebanyak 51 negara di dunia telah mulai melakukan normalisasi kebijakan, termasuk dengan mengurangi stimulus kepada pelaku usaha. OJK memilih memperpanjang restrukturisasi kredit kepada sektor dan wilayah yang belum sepenuhnya pulih dari Covid-19 hanya sampai akhir Maret 2024.

"Setiap krisis, trigger-nya selalu baru karena trigger lama dimitigasi. Ini (Covid-19) trigger yang belum pernah terjadi merembet ke sosial ekonomi merembet ke keuangan seluruh dunia gelagapan terlebih ada lockdown dan lainnya," tuturnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler