LPSK: 25 Persen Kekerasan Seksual Terjadi di Dunia Pendidikan

LPSK memaparkan 25 persen kasus kekerasan seksual justru terjadi di dunia pendidikan.

STRAITS TIMES
Kekerasan Seksual (ilustrasi). LPSK memaparkan 25 persen kasus kekerasan seksual justru terjadi di dunia pendidikan.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat lebih dari 25 persen korban kekerasan seksual yang memohonkan perlindungan kejadiannya terkait dengan dunia pendidikan. LPSK menyayangkan kekerasan seksual terjadi di lingkungan dunia pendidikan.

Baca Juga


Catatan LPSK tahun 2022, permohonan perlindungan dari tindak pidana kekerasan seksual berjumlah 634 pemohon. Dari 634 pemohon itu, sebanyak 379 pemohon berstatus korban, dengan 84 di antaranya korban kekerasan seksual terkait dunia pendidikan.

"Hampir 25 persen pemohon adalah korban kekerasan seksual terkait dunia pendidikan. Artinya apa? Kekerasan (seksual) ada," kata Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar dalam keterangannya, Jumat (20/1/2023).

Livia mengamati keterkaitan korban dengan dunia pendidikan bisa dipilah dari pendidikan bidang keagamaan dan umum. Bidang pendidikan agama, pesantren, menjadi tempat kejadian terbanyak dengan 45 korban, tempat mengaji dengan 10 korban, dan tempat ibadah dengan enam korban. Sedangkan di bidang pendidikan umum, sekolah jadi tempat kejadian terbanyak dengan 19 korban dan satu korban di universitas.

Menurut Livia, korban kekerasan seksual yang memohonkan perlindungan ke LPSK belum menggambarkan peristiwa sebenarnya.

"Masih banyak korban kekerasan seksual lainnya, baik yang sudah melapor ke aparat penegak hukum, tapi tidak mengajukan perlindungan ke LPSK maupun yang tidak melaporkan sama sekali kejadian yang menimpanya," ujar Livia.

Livia menjelaskan, faktor relasi kuasa sangat kental dalam kasus kekerasan seksual yang terkait dunia pendidikan. Modus dan dampak dari perbuatan itu terbilang luar biasa.

"Kita (LPSK) pernah menangani kasus kekerasan seksual oleh oknum guru dibantu siswa teman korban sendiri, tempat kejadian di ruang sekolah dan di jam sekolah," kata Livia.

Livia berikutnya menyoroti kasus kekerasan seksual dengan pelaku HW di Jawa Barat. Kasus itu menyita perhatian karena melibatkan belasan korban, di antaranya anak dan akibat perbuatan itu lahir sembilan orang bayi.

"Bagaimana mungkin anak usia belasan tahun menjadi budak seks selama bertahun-tahun dan akibat perbuatan itu mereka harus melahirkan di usia muda. Anehnya, kejadian itu berlangsung lama dan tidak banyak yang tahu," ujar Livia

Selain faktor relasi kuasa yang kental, Livia membeberkan pelaku kekerasan seksual terkait dunia pendidikan, mulai dari oknum guru, petugas/pegawai lain di lingkungan pendidikan. Bahkan pemilik maupun pengurus yayasan pendidikan.

"Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk mereka mengejar dan mendapatkan pengetahuan, bukan sebaliknya," kata Livia menegaskan.

Livia sependapat jika dunia pendidikan harus bersih dan bebas dari perilaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Berangkat dari hal itu, menurutnya pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan, baik umum maupun keagamaan, termasuk yang berbasis asrama, menjadi sangat penting.

"Para pemangku kepentingan jangan berpangku tangan, pengawasan melekat mendesak dilakukan," kata Livia.

Selain itu, Livia mengingatkan para orang tua harus dapat selektif dalam memilih tempat pendidikan bagi anak-anaknya. Ia menyinggung lingkungan sekitar tempat pendidikan punya peran dan harusnya bisa lebih peka mencegah kekerasan seksual.

"Orang tua jangan sampai terkesan hanya memindahkan kewajiban mengurus anak-anak kepada tenaga pendidik di sekolah tanpa pengawasan berkala," ujar Livia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler