'Pemberantasan Korupsi di Indonesia Alami Kemunduran'
Pukat UGM menilai penurunan IPK Indonesia di antaranya disebabkan oleh pelemahan KPK.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Febryan A, Dessy Suciati Saputri
Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Yuris Rezha Kurniawan menilai, terjadi kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi itu disebabkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Tanda yang paling nyata adalah anjloknya peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang berada di posisi 110 dari 180 negara. Padahal, pada tahun sebelumnya dari laporan Transparency International, Indonesia sempat berada di peringkat 96.
Yuris menilai, anjloknya IPK Indonesia kemunduran dalam sejarah pemberantasan korupsi pasca reformasi. Kemunduran pemberantasan korupsi ini turut disebabkan kekeliruan pemerintah dan DPR dalam merancang strategi pemberantasan korupsi.
"Terlihat dari pelemahan KPK lewat revisi UU KPK dan pengisian pimpinan yang bermasalah memiliki andil yang cukup besar terhadap penurunan IPK," kata Yuris, Rabu (8/2/2023).
Melihat ke belakang, berdirinya KPK awal 2000an memiliki dampak cukup positif dengan mengatrol IPK dari tahun ke tahun. Seusai KPK dibredel, mulai ada penurunan IPK karena tidak ada lagi lembaga pengawas yang ditakuti pejabat di level elite.
Selain itu, perlu dicermati tren penurunan IPK Indonesia berasal dari masifnya korupsi politik dan dunia bisnis, melibatkan pejabat level elite dalam penyusunan kebijakan. Sangat disayangkan, pengawasan sisi ini tidak disentuh sama sekali.
"Memang, pemerintah sudah mengupayakan pencegahan korupsi melalui digitalisasi atau kemudahan perizinan. Namun, saya merasa itu formulasi yang keliru karena hanya dapat menyasar pada level korupsi kecil-kecilan," ujar Yuris.
Ia menilai, korupsi politik dan korupsi kebijakan di level pejabat tinggi selama ini tidak tersentuh. Beberapa kasus korupsi akhir-akhir ini menunjukan pembuatan kebijakan level nasional sangat mudah diatur berdasarkan relasi bisnis pejabat.
Fenomena ini justru terjadi saat pemerintah sedang menggenjot investasi besar-besaran. Tentu ini patut dipertanyakan, apakah mungkin ada investor melakukan investasi di negara dengan tingkat korupsi politik yang semakin memburuk.
Terkait penegak hukum, ia melihat, bangsa Indonesia masih memiliki soal serius. Dibuktikan dengan Indikator World Justice Project masih jauh dibawah rata-rata. Namun, beberapa penanganan kasus korupsi besar oleh kejaksaan perlu diapresiasi.
Tetapi, ternyata belum pula optimal untuk mengembalikan aset besar hasil korupsi. Ditambah kepolisian dan MA yang sedang digoyang oleh kasus di internal masing-masing. Sedangkan, kerja-kerja KPK hari ini tidak begitu banyak bisa diharapkan.
"Artinya, perlu ada perbaikan yang fundamental di sisi penegak hukum," kata Yuris.
Turunnya IPK Indonesia juga disoroti kalangan partai politik (parpol). Partai Ummat menilai, IPK Indonesia melorot karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak serius memberantas korupsi.
Ketua Umum DPP Partai Ummat, Ridho Rahmadi mengatakan, Jokowi sejak awal terpilih pada tahun 2014 kerap berjanji memberantas korupsi, tetapi nyatanya tidak ada perbaikan setelah dia memimpin selama tujuh tahun. IPK tahun 2014 dan tahun 2022 sama-sama 34 poin. Padahal menurut pakar, IPK negara demokrasi yang sehat seharusnya 70 poin.
"Partai Ummat menilai kondisi ini terjadi akibat langkah-langkah Jokowi yang tidak menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi yang telah ditetapkan oleh Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sebagai extra ordinary crime," kata Ridho dalam siaran persnya, Ahad (5/2/2023).
Menurut Ridho, ketidakseriusan itu tampak ketika Jokowi dan DPR memperlemah peran KPK lewat revisi UU KPK pada 2019. Selain itu, pernyataan-pernyataan blunder dari para menteri kabinet Jokowi seperti Luhut Binsar Panjaitan dan Tito Karnavian turut memperburuk citra pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Ridho lantas memprediksi efek dari penurunan IPK ini. Menurutnya, dengan IPK yang memburuk ini, maka Indonesia akan sulit mendapatkan investasi, terutama investasi dari luar negeri. Kurangnya investasi tentu memperlemah usaha Indonesia untuk bangkit dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Hal ini menjadi tanda tanya bagi Partai Ummat tentang sensitivitas pemerintahan Jokowi dalam memandang problem besar bangsa Indonesia dimana keterkaitan antara perilaku koruptif dengan pembangunan ekonomi sangat berkorelasi signifikan," kata Ridho.
Dalam keterangan persnya di Istana Merdeka, pada Selasa (7/2/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, hasil skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang merosot menjadi masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan perbaikan. Karena itu, ia pun meminta seluruh jajaran pemerintahan baik di pusat maupun daerah agar memperbaiki sistem administrasi pemerintahan dan sistem pelayanan publik yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
“Indeks Persepsi Korupsi yang diterbitkan beberapa hari yang lalu menjadi masukan bagi pemerintah dan juga bagi aparat penegak hukum untuk memperbaiki diri,” kata Jokowi.
Jokowi juga mengingatkan aparat penegak hukum agar melakukan penegakan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Ia juga menegaskan tidak akan memberikan toleransi kepada pelaku tindak pidana korupsi.
“Saya tegaskan kembali, saya tidak akan pernah memberikan toleransi sedikit pun kepada pelaku tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi ini disebutnya tidak akan pernah surut. Pemerintah, kata, dia terus berupaya melakukan pencegahan dengan membangun sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang transparan dan akutabel.
Jokowi mendorong dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yakni RUU tentang Perampasan Aset dalam tindak pidana agar dapat segera diundangkan dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk segera dimulai pembahasannya.
“Saya mendorong agar RUU tentang perampasan aset dalam tindak pidana dapat segera diundangkan dan RUU pembatasan transaksi uang kartal segera dimulai pembahasannya,” kata Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, hasil skor IPK yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) hanya merupakan persepsi dan terbatas di bidang-bidang tertentu saja. Ia pun menilai hasil tersebut tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya.
“Kami hanya ingin menyatakan bahwa itu semua bukan fakta, tapi persepsi dan baru terbatas pada hal-hal tertentu, di bidang-bidang tertentu kita justru naik, demokratisasi naik, penegakan penegakan hukum dan keadilan naik,” ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/2/2023).
Sedangkan di sektor tertentu lainnya seperti bidang perizinan, kemudahan berinvestasi, kekhawatiran investor terhadap kepastian hukum disebutnya berpengaruh terhadap penurunan skor IPK.
“Tapi kalau penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan demokrasi itu naik meskipun kecil,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menegaskan, komitmen KPK untuk menangani perkara kasus korupsi tidak pernah surut. Menurutnya, KPK telah melakukan beberapa upaya untuk memberantas korupsi.
Di antaranya yakni strategi penyidikan masyarakat agar takut untuk melakukan korupsi Kemudian perbaikan sistem agar tidak ada celah untuk melakukan korupsi, serta melakukan strategi penindakan secara profesional untuk mengembalikan kerugian negara.
“Kami akan mencoba memberikan tanggapan terkait beberapa perkara yang ditangani oleh KPK. KPK sampai hari ini tidak pernah surut, tidak pernah lelah memberantas korupsi,” kata Firli dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/2).
Pada 2022, Firli menyebut KPK telah berhasil mengembalikan aset negara sebesar Rp 575 miliar. Jumlah tersebut melampaui target yang ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Tahun 2022 kita sudah berhasil mengembalikan sebanyak Rp 575 miliar, lebih dari target Rp 104 miliar yang ditetapkan RPJMN kita,” ujarnya.
Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada 2022 berdasarkan rilis TII pada pekan lalu merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021. Perolehan ini juga membuat posisi Tanah Air berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun 2021 yang mencapai ranking 96.
Sebagai ilustrasi, skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.
"CPI (Corruption Perception Index) Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," kata Deputi TII Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/1/2023).