Defisit APBN Berpotensi Jebol, Indef: Perbaiki Subsidi Energi

Indef mendorong pemerintah untuk mempercepat reformasi kebijakan subsidi energi.

Republika/Putra M. Akbar
Petugas melayani warga mengisi BBM di salah satu SPBU di kawasan Senen, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendorong pemerintah untuk mempercepat reformasi kebijakan subsidi energi agar tidak melebihi kapasitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam meredam gejolak harga di tengah ketidakpastian global.
Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendorong pemerintah untuk mempercepat reformasi kebijakan subsidi energi agar tidak melebihi kapasitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam meredam gejolak harga di tengah ketidakpastian global.

Baca Juga


"Pemerintah perlu segera melakukan transformasi kebijakan subsidi energi dari mekanisme terbuka menjadi subsidi tertutup dan tepat sasaran," kata Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Transformasi kebijakan subsidi energi tersebut ditujukan agar tambahan subsidi dan kompensasi energi tidak sampai menyebabkan defisit APBN 2023 melampaui 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Abra mengatakan, revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang segmentasi konsumen bahan bakar minyak (BBM) subsidi serta optimalisasi pendataan konsumen BBM dan liquefied petroleum gas (LPG) subsidi melalui platform MyPertamina dapat menjadi instrumen transisi dalam mereformasi kebijakan subsidi energi nasional.

Tantangan berat akan dihadapi pada 2023, yaitu masih adanya risiko kenaikan harga minyak mentah dunia, tren depresiasi rupiah dan meningkatnya konsumsi BBM dan LPG subsidi yang akan berpengaruh terhadap subsidi energi. Di tahun konsolidasi fiskal, defisit APBN pada 2023 ditetapkan 2,85 persen terhadap PDB.

Di tengah masih tingginya ketidakpastian geopolitik global, Abra menuturkan pemerintah harus mengambil pelajaran dari pengalaman tahun 2022. Ketika harga energi melonjak tajam, pemerintah menambah anggaran subsidi energi hingga Rp 502,4 triliun demi meredam inflasi. Namun, realisasi subsidi energi tersebut membengkak Rp 48,7 triliun menjadi Rp 551,2 triliun.

Dengan masih berlakunya skema subsidi terbuka BBM dan LPG di tengah berlanjutnya fase pemulihan ekonomi, maka semakin memperbesar risiko lonjakan permintaan BBM dan LPG subsidi melampaui kuota subsidi. Kondisi tersebut, turut menjadi sumber risiko terhadap pembengkakan subsidi dan kompensasi energi di tengah tahun konsolidasi fiskal.

Indef melakukan simulasi dengan menggunakan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) 90 dolar AS per barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.800 per dolar AS sesuai dengan asumsi APBN 2023.

Dengan asumsi ICP dan kurs rupiah tersebut, jika terjadi lonjakan kuota solar dan Pertalite seperti tahun 2022, maka berisiko menambah subsidi dan kompensasi sebesar Rp 51,9 trilun sehingga berpotensi menyebabkan defisit APBN melebihi 3 persen terhadap PDB, yaitu 3,09 persen.

"Hasil simulasi ini semata-mata menjadi alarm kita bersama meskipun ICP dan kurs rupiah masih sesuai dengan APBN tetapi ketika terjadi lonjakan kuota, belum tentu APBN kita memadai untuk bisa meredam (gejolak harga)," ujarnya.

Sementara dalam skenario terburuk pada saat ICP menyentuh 100 dolar AS per barel dan nilai tukar rupiah mencapai Rp15.000 per dolar AS maka berpotensi mengakibatkan kenaikan tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG sebesar Rp 62,1 triliun. Dengan kondisi tersebut, defisit APBN 2023 berpotensi melampaui batas 3 persen terhadap PDB, yaitu 3,13 persen.

Sebagai antisipasi agar defisit APBN 2023 tidak melebihi 3 persen terhadap PDB, pemerintah akan menghadapi tiga alternatif skenario kebijakan, yakni pembatasan distribusi BBM dan LPG subsidi diharapkan dapat menekan kuota minimal 10 persen sehingga defisit APBN dapat dijaga pada level 2,98 persen terhadap PDB. Skenario kebijakan berikutnya berupa penyesuaian harga jual BBM dan LPG minimal 7 persen yang akan membantu defisit turun ke bawah 3 persen terhadap PDB.

Kemudian, kombinasi antara pembatasan distribusi BBM dan LPG dengan penghematan kuota minimal 5 persen dan penyesuaian harga 4 persen dapat menurunkan defisit APBN ke bawah 5 persen terhadap PDB.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler