PBB: Afghanistan Jadi Negara Paling Represif untuk Perempuan
Perempuan di Afganistan banyak kehilangan hak dasar
REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Sejak Taliban mengambil alih pemerintahan Afghanistan, negara itu telah menjadi negara yang paling represif di dunia bagi perempuan dan anak perempuan. Perserikatan Bangsa Bangsa melaporkan kasus kehilangan hak dasar bagi perempuan dan anak perempuan terbanyak di dunia ada di Afganistan.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Hari Perempuan Internasional, Rabu (8/3/2023) misi PBB mengatakan bahwa penguasa baru Afghanistan telah memperlihatkan hampir semua kebijakannya berfokus pada penerapan aturan yang membuat kehilangan sebagian besar hak perempuan dan anak perempuan. PBB menyebut kehidupan perempuan di Afganistan hanya terperangkap secara efektif di rumah mereka.
Terlepas dari janji awal pemerintahan Taliban yang mengatakan akan bersikap lebih moderat, faktanya tidak demikian. Taliban telah memberlakukan tindakan keras pada perempuan. Salah satu langkah pengekangan Taliban adalah melarang pendidikan anak perempuan di atas kelas enam SD. Kemudian larangan perempuan berada sendirian di ruang publik seperti taman dan pusat kebugaran.
Perempuan juga dilarang bekerja di lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional dan diperintahkan untuk berpakaian menutup diri dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Afghanistan di bawah Taliban tetap menjadi negara paling represif di dunia terkait hak-hak perempuan,” kata Roza Otunbayeva, perwakilan khusus sekretaris jenderal PBB dan kepala misi kemanusiaan untuk Afghanistan.
“Sangat menyedihkan menyaksikan upaya mereka disengaja, dan sistematis, untuk mendorong perempuan dan anak perempuan Afghanistan menjauhi ruang publik,” tambahnya.
Pembatasan, terutama larangan pendidikan dan pekerjaan LSM, telah menuai kecaman internasional yang keras. Tetapi Taliban tidak menunjukkan tanda-tanda mundur. Taliban mengklaim larangan tersebut adalah penangguhan sementara karena wanita tidak mengenakan jilbab dengan benar dan karena aturan pemisahan gender pria dan wanita tidak diikuti.
Adapun larangan pendidikan perempuan berkualiah di universitas, pemerintah Taliban mengatakan bahwa beberapa mata pelajaran yang diajarkan tidak sejalan dengan nilai-nilai Afghanistan dan Islam.
“Membatasi setengah dari populasi negara untuk berada di rumah mereka di salah satu negara dengan krisis kemanusiaan dan ekonomi terbesar di dunia adalah tindakan terbelakang yang merugikan diri sendiri secara nasional,” tambah Otunbayeva.
“Apa yang dilakukan Taliban ini tidak hanya akan merugikan perempuan dan anak perempuan, tetapi semua warga Afghanistan, membuat kemiskinan dan ketergantungan bantuan semakin besar untuk generasi yang akan datang,” katanya. “Ini akan semakin mengisolasi warga Afghanistan dari dari dunia luar dan seluruh dunia.”
Misi PBB untuk Afghanistan juga mengatakan telah mencatat tindakan diskriminatif yang hampir sama terhadap perempuan sejak pengambilalihan Taliban. Larangan hak perempuan untuk bepergian atau bekerja di luar batas rumah mereka dan akses ke ruang publik sangat dibatasi, dan mereka juga tidak dilibatkan dari semua tingkat pengambilan keputusan publik.
“Implikasi kerugian yang ditimbulkan Taliban pada warga negara mereka sendiri melampaui perempuan dan anak perempuan,” kata Alison Davidian, perwakilan khusus untuk Wanita PBB di Afghanistan.
Ketika dikonfirmasi, tidak ada pejabat dari pemerintah pimpinan Taliban yang bersedia untuk dimintai komentar. Dewan Keamanan PBB akan bertemu Rabu malam dengan Otunbayeva dan perwakilan perempuan dari kelompok masyarakat sipil Afghanistan.
Menurut pernyataan PBB itu, saat ini setidaknya 11,6 juta perempuan dan anak perempuan Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan.