Bulog Diprediksi Bakal Tetap Sulit Peroleh Gabah Petani
Kenaikan harga gabah yang ditetapkan oleh Badan Pangan masih di bawah ongkos produksi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perum Bulog diprediksi bakal tetap sulit mendapatkan pasokan gabah maupun beras dari petani meski acuan harga pembelian pemerintah (HPP) yang digunakan Bulog menyerap produksi telah dinaikkan. Pasalnya, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, mengatakan, kenaikan HPP gabah yang ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (NFA) masih di bawah rata-rata ongkos produksi yang harus dikeluarkan petani.
"Dengan HPP yang baru, pemerintah akan tetap kesulitan serap gabah dari petani kecil karena harga yang ditetapkan masih lebih rendah dari saat ini, baik di panen raya apalagi di luar panen raya harga pasti akan lebih (tinggi)," kata Andreas kepada Republika.co.id, Kamis (16/3/2023).
NFA telah menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 5.000 per kg, atau naik dari acuan sebelumnya sebesar Rp 4.200 per kg. Sementara, Andreas mengatakan, jaringan tani besar Indonesia yang terdiri dari AB2TI, Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), serta Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) telah mengusulkan kenaikan HPP gabah menjadi Rp 5.400 per kg-Rp 5.800 per kg.
"Itu betul-betul kami hitung riil dari usaha tani saat ini, bahwa kalau kita ingin hitung HPP yang wajar supaya usaha tani menguntungkan ya antara harga itu, jadi kami tetap berpegang pada angka yang sudah disepakati," kata Andreas.
Sejauh ini, jaringan petani AB2TI mendata rata-rata harga gabah masih di atas Rp 5.500 per kg. Meskipun tengah di masa puncak panen raya, harga dipastikan tidak akan turun menjadi kurang dari Rp 5.000 per kg. Itu sebabnya, dengan HPP yang baru Bulog kemungkinan besar masih akan kesulitan.
Bukan tanpa sebab, Andreas menjelaskan, biaya usaha tani memang meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir antara 25 persen hingga 25 persen. Biaya itu utamanya akibat peningkatan biaya sewa, upah tenaga kerja, hingga sarana dan prasarana produksi.
Adapun mengutip data Bulog sejak Januari hingga medio Maret saat ini, total cadangan beras pemerintah hanya 380 ribu ton. Dari jumlah itu, serapan dalam negeri cuma sekitar 38 ribu ton dan sisanya berasal dari impor.
"Sudah barang tentu ini harus diatasi bersama karena harapan semua beras Bulog itu dari dalam negeri bukan impor," kata Andreas.
Di sisi lain ia menilai kinerja Bulog dalam menyerap gabah maupun beras petani memang kurang optimal meski menjadi perusahaan beras terbesar di Indonesia. Namun hal itu juga disebabkan oleh rendahnya HPP yang menjadi acuan Bulog untuk membeli hasil produksi.
"Bulog harus betul-betul mencari wilayah tertentu, yang harga gabahnya masih di bawah Rp 5.000 per kg supaya bisa serap gabah di sana, tapi kalau Jawa tidak ada," kata dia.