Sri Mulyani Ungkap Fakta Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
Hanya Rp 3,3 triliun yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi kepada Komisi XI DPR terkait adanya dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun. Adapun transaksi janggal tersebut di lingkungan Kementerian Keuangan seperti diungkap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pada kenyataanya dari 300 surat senilai Rp 349 triliun menjadi surat pertama yang dirinya terima karena berisi kompilasi transaksi sejak 2009-2022.
“Terkait tupoksi pegawai Kemenkeu, ada 135 surat nilainya Rp 22 triliun, bahkan Rp 22 triliun ini sebanyak Rp 18,7 triliun menyangkut transaksi korporasi yang tidak ada hubungan dengan Kemenkeu,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023).
Menurutnya laporan senilai Rp 18,7 triliun menyangkut korporasi yang diduga menyangkut pegawai Kementerian Keuangan, setelah diselidiki, sama sekali tidak terafiliasi dengan pegawai Kementerian Keuangan. Sri Mulyani menyebut salah satu contoh dari transaksi Rp 18,7 triliun bahwa pada dasarnya Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan melakukan audit investigasi terhadap pegawai Kementerian Keuangan.
“Irjen meminta informasi transaksi dari PPATK menyangkut transaksi perusahaan dengan nilai debit kredit perusahaan, katakanlah PT A, jumlahnya Rp 11,38 triliun,” ucapnya.
Hasilnya, ternyata tidak ada aliran dana dari Rp 11,38 triliun ke pegawai yang sedang diinvestigasi, maupun ke keluarganya. Sri Mulyani pun menegaskan transaksi ini merupakan permintaan dari Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, bukan transaksi mencurigakan.
“Rp 11,38 triliun dibayangkan ada aliran dana mencurigakan padahal ini adalah permintaan dari Itjen, dan ternyata tidak ada afiliasi dengan pegawai Kemenkeu,” ucapnya.
Dalam penjelasannya, ternyata dari 300 surat juga sebanyak 100 surat yang merujuk ke aparat penegak hukum (APH) lain senilai Rp 74 triliun, bukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ataupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
“Rp 253 triliun yang ditulis dalam 65 surat adalah data dari transaksi debit kredit operasional perusahaan dan korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu, ada hubungannya dengan fungsi pajak dan bea cukai,” ucapnya.
Kompilasi surat selama 15 tahun tersebut artinya hanya Rp 3,3 triliun yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan. Sri Mulyani menyebut surat-surat tersebut pun merupakan permintaan dari pihak Kementerian Keuangan kepada PPATK yang keperluan profiling risk pegawai.
“Yang bener-bener berhubungan dengan pegawai Kemenkeu Rp 3,3 triliun, ini 2009-2023. 15 tahun seluruh transaksi dari debit kredit yang inquiry, termasuk penghasilan resmi, transaksi keluarga, jual beli aset, itu Rp 3,3 triliun,” ucapnya.
Menurutnya transaksi tersebut pula dalam rangka Kementerian Keuangan melakukan fit and proper pegawai, sehingga membutuhkan analisa dari PPATK.
“Kami sedang melakukan fit and proper, tolong minta data X, maka kami dapat transaksi pegawai itu, jadi tidak ada hubungannya dalam rangka pidana atau apa, profiling risk pegawai,” ucapnya.
Sri Mulyani mengaku awalnya kaget mendengar kabar tersebut. Sebab sebelumnya belum menerima laporan langsung dari PPATK terkait transaksi mencurigakan tersebut.
Kala itu, informasi transaksi mencurigakan ramai media massa karena Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Mahfud MD menyampaikan melalui sosial media bahwa ada transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun.
“Tanggal 8 Maret, Pak Mahfud menyampaikan ke media ada transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan Rp 300 triliun. Kami kaget karena mendengarnya dalam bentuk berita di media. Kami cek kepada Pak Ivan (Kepala PPATK Ivan Yustiavandana) tidak ada surat tanggal 8 Maret ke Kemenkeu,” ucapnya.
Menurutnya, pihaknya baru menerima surat dari PPATK keesokan harinya yakni pada 9 Maret 2023 dengan nomor surat SR/2748/AT.01.01/III 2023 tertanggal 7 Maret. “Surat baru kami terima by hand tanggal 9 Maret. Tanggal 8 sehari sebelumnya sudah disampaikan ke publik yang kami belum terima,” ucapnya.
Selain itu, Sri Mulyani mengaku, saat menerima surat dari PPATK, tidak ada nominal angka di dalamnya. Dia juga menyebut, baru pertama kali menerima sebanyak 196 surat dengan 36 halaman lampiran, sehingga karena tidak ada pernyataan angka di dalam surat tersebut, pihaknya juga merasa kesulitan dapat berkomentar atau melakukan klarifikasi.