Kegagalan Koperasi Syariah Lebih ke Aspek Bisnis
Sebagian besar kegagalan koperasi syariah cenderung bukan dalam konteks fraud.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena koperasi simpan pinjam gagal bayar sedang menyeruak. Pada Januari 2022, Kemenkop UKM telah membentuk satgas untuk menangani delapan koperasi bermasalah untuk menjawab keluhan masyarakat atas koperasi bermasalah.
Anggota Forum Koperasi Indonesia, Kartiko Adi Wibowo berharap dengan adanya RUU Perkoperasian sebagai pengganti dari UU No 25 tahun 1992 dapat menjadi benteng pertahana. Karena baik koperasi simpan pinjam (KSP) ataupun koperasi syariah memerlukan pengawasan yang ketat dan memadai.
"Kalau kita berkaca dari delapan yang fraud memang lantaran prinsip perkoperasian tak dijalankan baik dan benar. Oleh karenanya, pengawasan terakomodisi ada di RUU, sebelumnya kan pengawasan kurang. RUU ini menjadi benteng," ujarnya dalam Webinar Peluang dan Tantangan RUU Perkoperasian bagi Koperasi Syariah yang diselenggarakan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Kamis (13/4/2023).
Perihal kekhawatiran fraud di koperasi syariah, menurut Suwandi mekanisme pengawasan berperan penting dalam menjalankan koperasi. Karena, sebagian besar kegagalan dari koperasi syariah yang bermasalah cenderung bukan dalam konteks fraud.
"Tapi lebih ke kegagalan aspek bisnis. Kepandaian pengelolaan. Kemungkinan fraud ada tapi volume kecil. Kegagalan bisnis ya tetap," ungkapnya.
Oleh karenanya, anggota koperasi harus bisa mengantisipasinya dengan literasi pendidikan yang cakap. Tak hanya itu, bekal kompetensi dan keahlian juga wajib dimiliki anggota koperasi.
Saat ini, berdasarkan pasal 38 dan 39 UU Nomor 25/1992, pengawas koperasi dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota. Artinya, satu-satunya pihak yang bisa melakukan pengawasan terhadap seluruh operasional adalah individu-individu yang berasal dari dalam koperasi itu sendiri
Hal itu menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu melakukan aksi kejahatan seperti penggelapan atau penyelewengan dana anggota sebagaimana terjadi pada Koperasi Simpan Pinjam Indosurya dan koperasi lainnya. Oleh karenanya, akuntabilitas harus menjadi jati diri koperasi. Terlebih, koperasi juga memiliki fungsi sosial dan pendidikan.
Ketua Bidang Pengembangan Keuangan Mikro Syariah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Ahmad Juwaini menyampaikan, koperasi adalah salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia yang karenanya harus ditata dan diperkuat. Sehingga, keberadaan RUU Perkoperasian diperlukan untuk melakukan perbaikan UU nomor 25 1999 tentang Perkoperasian.
"Selain karena UU tersebut sudah lama, secara substansi juga harus diperbaiki, misalnya pada UU tersebut belum merecognisi Koperasi Syariah," katanya.
Ahmad menambahkan ada harapan bahwa RUU Perkoperasi tidak sekedar mengatur koperasi secara entitas saja namun juga mengatur ekosistem pendukung koperasi lainnya seperti lembaga penjamin simpanan (LPS) koperasi, lembaga pendukung pendanaan untuk koperasi, dan lain-lain.
Ahmad mengapresiasi RUU perkoperasian yang mengadopsi best practises koperasi-koperasi sukses dari belahan dunia lain. Misalnya dengan mengenalkan tata kelola jenjang tunggal. Selama ini di Indonesia yang lazim dilaksanakan adalah tata Kelola jenjang dua.
Salah satu yg perlu dikembangkan oleh industri koperasi adalah pengembangan berkelanjutan. Saat ini kita perlu selalu belajar, karena harus diakui kinerja koperasi di indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan koperasi di luar negeri.
"Jika berharap koperasi bisa masuk ke papan atas dunia, maka kita harus terus belajar dari best practice koperasi-koperasi sukses di seluruh dunia agar dapat bersaing dalam lingkup global," katanya.