Pernah Ditanya Soal Perbedaan Waktu Hari Raya, Ini Jawaban Buya Hamka
Menurut Buya Hamka, agama itu mudah.
MAGENTA -- Suatu hari di tahun 1975, Buya Hamka pernah ditanya soal perbedaan waktu Idul Adha di Indonesia dengan negara Arab Saudi? Gegaranya begini.
Waktu itu, Departemen Agama memutuskan Hari Raya Idul Adha 1395 H, jatuh pada Sabtu 13 Desember 1975. Tiba-tiba Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta menyiarkan bahwa Idul Adha jatuh hari Jumat, 12 Desember 1975.
Perbedaan itu mengakibatkan terjadi dua kubu di masyarakat. Ada golongan yang menganjurkan agar Sholat Idul Adha dilaksanakan pada Jumat sebab sudah wukuf pada Kamis. Ada yang berkeras mempertahankan keputusan semula, yaitu sholat Hari Raya Haji hari Sabtu, 13 Desember 1975, sesuai keputusan Departemen Agama setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan majelis ulama dan ahli-ahli hisab dan rukyah.
.
.
Dalam buku 1001 Soal Kehidupan yang ditulisnya, Hamka mengawali jawaban dengan mengatakan, jika bersatu permulaan puasa, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha di seluruh dunia Islam, sehingga sama puasa kaum Muslimin, sama berbuka dan sama Hari Raya Haji, adalah satu hal yang baik sekali.
Apalagi pada zaman sekarang dengan adanya alat-alat telekomunikasi yang cepat dapat menyampaikan berita di seluruh dunia, hal yang seperti itu mungkin bisa dicapai. Itulah sebabnya, jumhur ulama memandang persatuan umat dalam mengerjakan ibadah puasa dan hari raya adalah sangat dituntut.
"Agama itu mudah," tulis Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dalam bukunya yang diterbitkan oleh Gema Insani 2016.
BACA JUGA: Daftar Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 untuk Wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi
Menurut Hamka, sangat sulit tercapai seluruh umat bisa berbarengan waktunya melaksanakan awal Ramadhan, sholat Idul Fitri, dan Idul Adha. Hanya pada negara-negara yang berdekatan saja yang bisa sama, yaitu yang satu mathla'. Adapun yang berjauhan mathla', seperti antara Andalus (sebelah barat) dan Khurasan (sebelah timur) tidak dapat dipersamakan.
Pendapat ini diperkuat melalui hadits yang pernah terjadi pada zaman sahabat-sahabat Rasulullah, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib. Bahwa ia datang ke Syam. la sampai di sana pada akhir bulan Sya'ban menjelang masuk bulan Ramadhan, la sendiri turut melihat bulan (rukyah hilal) ketika berada di Syam.
"Saya melihat bulan itu pada malam Jumat."
.
.
Setelah beberapa hari di Syam, Kuraib kembali ke Madinah pada ujung bulan Ramadhan. Ia berkata, "Lalu bertanya kepadaku Ibnu Abbas dan dibicarakannya juga soal hilal itu. la bertanya, "Kapan kalian melihat hilal Saya jawab, "Malam Jumat."
Lalu Ibnu Abbas bertanya lagi, "Engkau sendiri melihat?" Kuraib menjawab, "Ya, saya lihat dan orang ramai pun melihatnya, maka puasalah orang ramai pada besoknya dan puasa pula Muawiyah itu sendiri?"
BACA JUGA: Daftar Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 untuk Wilayah Depok
Lalu, Ibnu Abbas berkata, "Namun, kami melihat hal itu pada malam Sabtu, dan kami teruslah puasa sampai kami cukupkan bilangan tiga puluh hari, atau kami lihat hilal nanti."
Lalu Kuraib bertanya, "Tidakkah kallan padukan saja dengan Rukyah Muawiyah dan puasanya." Ibnu Abbas menjawab, "Tidak. Karena begitulah diperintahkan Rasulullah SAW kepada kita.
Hadits ini disalin secara bebas, dirawikan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan at -Tirmidzi. "Hadits ini adalah hassan, shahh, dan gharib. Amalan menurut hadis ini pada sisi ahli ilmu, yaitu bahwa tiap tap negeri dengan rukyahnya sendiri."
.
.
"Hadits inilah yang menjadi pegangan seluruh dunia Islam itu, bukan lagi semata-mata di Tanah Arab, melainkan telah melebar meluas ke luar Arab, bahkan ke seluruh dunia," kata Buya Hamka dalam bukunya.
Petunjuk dengan Melihat Bulan
Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 189: "Mereka itu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji..."
BACA JUGA: Daftar Lokasi Sholat Idul Fitri 21 April 2023 untuk Wilayah DKI Jakarta
Berdasarkan ayat ini, pokok pertama dan utama dalam memulal ibadah, baik ibadah puasa Ramadhan maupun penutupan puasa Ramadhan (Idul Fitri) atau penentuan permulaan haji, atau menentukan perhitungan mengeluarkan zakat (haul) semuanya dihitung menurut bulan qamariah, bukan syamsiah.
Caranya adalah apabila ada orang yang melihat hillal (yaitu bulan sabit, permulaan bulan baru di ufuk barat, sesudah terbenamnya matahari), lalu dilaporkannya kepada pihak yang berwenang atau penguasa di negeri itu.
Sesudah memeriksa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak yang melihat bulan itu dengan menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat lebih dahulu setelah penguasa mempercayai berita itu, lalu disuruhlah menyiarkan berita itu kepada orang ramai dan dimaklumkanlah bahwa besoknya mulailah puasa, atau besoknya mulailah Hari Raya Idul Fitri.
.
.
Kala bulan haji, dilihat orang pula hilal permulaan Dzulhijjah dan dilaporkannya kepada penguasa, lalu dimaklumkanlah ke muka umum bahwa Hari Raya Haji akan jatuh pada 10 sesudah itu. Adapun di Makkah sendiri, ada tambahan khusus lagi, yaitu pada sembilan hari bulan akan wukuf di Arafah.
Cara yang begini adalah menurut Sunnah dari Nabi sendiri, yaitu sebuah hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh at Tirmidzi bahwa pada suatu hari, seseorang dari kampung (A'rabi) datang memberitahukan bahwa la melihat hilal malam itu.
Lalu ia disuruh mengucap dua kalimat syahadat, (suatu kesaksian yang lebih besar pengaruhnya daripada sumpah sendiri bagi orang yang beriman; bahwa ia bertanggung jawab sebagai Muslim dan ucapan yang ia keluarkan). Setelah Nabi percaya kepada kesaksian orang itu, baginda berkata kepada bilal. "Hai Bilal, beritahukan kepada manusia, puasa besok."
BACA JUGA: Mudik Lebaran 2023, Perhatikan Adab Bepergian dalam Islam
Dari dalil-dalli sunnah Nabi itu, teranglah bahwa mengerjakan ibadah puasa atau haji itu dengan berjamaah. Maksud dengan jamaah adalah masyarakat kaum Muslimin. Pada zaman Rasulullah masih hidup, pimpinan jamaah itu adalah di tangan baginda sendiri.
Setelah Nabi SAW wafat, berada di tangan khalifah-khalifah yang menggantikannya. Setelah dunia Islam bertambah luas dan berkembang, jamaah kaum Muslimin itu dikepalai oleh amir-amir atau sultan-sultan di daerahnya masing-masing. Setelah kebanyakan negeri Islam dijajah oleh bangsa Barat, terutama seperti di Indonesia ini, terserah kepada kaum Muslimin sendiri mengatur permulaan puasa dan berbukanya dan Hari Raya Hajinya.
Di negeri-negeri yang ada raja atau sultan dalam naungan penjajah, raja-raja dan sultan itulah yang menentukan puasa, berbuka dan Hari Raya Haji. Karena itu, seperti di Sumatra Timur pada zaman jajahan, tidaklah mustahil jika berbeda permulaan dan penutupan puasa antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Sendang, Kerajaan Asahan dan Kerajaan Kualuh, walaupun "kerajaan-kerajaan" itu sangat berdekatan.
.
.
Adapun di luar daerah kekuasaan sultan, seperti dalam kota Medan orang tidak merasa terikat oleh perintah sultan. Sebab itu penentuan puasa, berbuka, dan Hari Raya Haji adalah menurut kalender yang mereka percayai dan pegangi saja.
"Lebih-lebih setelah berkembang ilmu hisab, mulailah banyak orang yang puasa, berbuka, dan Hari Raya Haji menurut hisab saja. Perkumpulan-perkumpulan Islam seperti Muhammadiyah mengeluarkan pengumuman tiap tahun yang dijadikan pegangan oleh anggotanya dan orang yang menuruti paham yang diajarkannya," kata Buya Hamka. (MHD)
BACA JUGA:
Kemenag Gelar Sidang Isbat Idul Fitri 20 April 2023
Berencana Mudik di Malam Hari? Ingat 5 Hal Ini Saat Berkendara
Cek Mobil Sebelum Mudik, 9 Bagian Ini Wajib Diperiksa
Mudik 2023: Ini Tarif Tol Jakarta-Semarang, Jakarta-Solo, dan Jakarta-Surabaya
Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah
Kisah Soedirman: Guru SD yang Jadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat