Gencatan Senjata Gagal, Warga Sipil Sudan Berupaya Melarikan Diri
Pertempuran sporadis terus berlanjut di Sudan kendati ada gencatan senjata
REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Pertempuran sporadis terus berlanjut di Sudan pada Rabu (19/4/2023) kendati ada gencatan senjata. Warga Sudan yang ketakutan melarikan diri dari Khartoum dengan mengangkut barang seadanya dan berusaha keluar dari ibu kota.
Pertempuran menjadi kurang intens pada jam-jam pertama setelah gencatan senjata berlaku pada pukul 18.00 sore waktu setempat. Namun bentrokan sporadis berlanjut di pusat kota. Penduduk ibu kota yang putus asa telah kehabisan makanan dan perbekalan lainnya.
Sementara rumah sakit telah rusak dan terpaksa ditutup. Rumah sakit kewalahan menerima korban yang terluka akibat baku tembak, bahkan staf medis mulai kelelahan dan persediaan medis habis. Para pejuang bersenjata mulai menjarah toko-toko dan merampok siapa saja yang berani melangkah keluar.
Hampir 300 orang telah tewas dalam lima hari terakhir, tetapi jumlah korban kemungkinan lebih tinggi karena banyak mayat bergelimpangan di jalanan. Pada jam-jam menegangkan setelah gencatan senjata, Abdalla al-Tayeb bersama dengan warga lainnya mengumpulkan jenazah di dekat markas besar militer.
“Semuanya hampir membusuk, menyebabkan bau busuk yang sampai ke rumah kami. Adegan itu keji," ujar al-Tayeb.
Setelah upaya gencatan senjata pada Selasa (18/4/2023) malam gagal, ratusan orang berupaya melarikan diri di tengah ledakan dan tembakan yang mengguncang Khartoum dan Kota Omdurman yang berdekatan. Penduduk dari berbagai lingkungan mengatakan kepada The Associated Press bahwa mereka dapat melihat pria, wanita, dan anak-anak pergi dengan membawa barang bawaan, beberapa berjalan kaki, sementara yang lain berhimpitan di dalam kendaraan.
Pada Rabu malam, tentara dan kelompook paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) secara terpisah mengumumkan bahwa gencatan senjata terbaru selama 24 jam telah dimulai. Hingga saat ini, panglima militer Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan komandan RSF Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo tampaknya bertekad untuk saling menghancurkan dalam perebutan kekuasaan.
Upaya gencatan senjata pada Selasa gagal, kendati Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah berbicara kepada dua jenderal yang bersaing melalui telepon. Mesir, yang mendukung militer Sudan, serta Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memiliki hubungan dekat dengan RSF, telah meminta semua pihak untuk mundur.
Sepanjang Rabu, kedua belah pihak bertempur di sekitar markas militer utama di Khartoum tengah, yang berulang kali coba direbut oleh RSF, dan bandara terdekat. Warga mengatakan militer menggempur posisi RSF dengan serangan udara. Penduduk mengatakan orang-orang bersenjata, sebagian besar berseragam RSF, telah menggerebek rumah, kantor, dan toko di lingkungan sekitar Khartoum.
“Mereka berkeliaran dalam kelompok-kelompok kecil dari rumah ke rumah, dari toko ke toko dan menjarah segalanya,” kata seorang penduduk di lingkungan kelas atas Kafouri di Khartoum utara.
"Mereka menyerbu rumahmu dan mengambil semua barang berharga di bawah todongan senjata," ujar penduduk yang tidak mau disebutkan namanya.
Penduduk mengatakan banyak keluarga mulai mengangkat senjata untuk mempertahankan harta benda mereka. Warga lain di kawasan Pasar Arab, mengatakan, pria berseragam RSF masuk ke toko ponsel dan mengambil apa saja yang bisa mereka bawa.
Kedua belah pihak dalam konflik memiliki sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia. RSF lahir dari milisi Janjaweed, yang dituduh melakukan kekejaman yang meluas ketika pemerintah mengerahkan mereka untuk memadamkan pemberontakan di wilayah Darfur barat Sudan pada awal tahun 2000-an.
Darfur juga mengalami bentrokan hebat dalam lima hari terakhir. Kelompok bantuan Doctors Without Borders (MSF) mengatakan, orang-orang bersenjata menggerebek kantor mereka di Nyala di Darfur, mencuri kendaraan dan peralatan kantor serta menjarah gudang yang menyimpan persediaan medis. Komite Palang Merah Internasional mengatakan kantornya di Nyala juga dijarah, dan satu kendaraan diambil.
Rumah sakit di Khartoum kehabisan pasokan medis, dan seringkali beroperasi tanpa listrik dan air bersih. Puluhan fasilitas perawatan kesehatan di Khartoum dan di seluruh negeri telah berhenti berfungsi karena dekat dengan bentrokan. Sindikat Dokter Sudan mengatakan, setidaknya sembilan rumah sakit dibom.
Organisasi Kesehatan Dunia PBB mengatakan, sedikitnya 296 orang telah tewas dan lebih dari 3.000 orang terluka sejak pertempuran dimulai. Sindikat Dokter mengatakan, pada Selasa setidaknya 174 warga sipil tewas dan ratusan lainnya luka-luka.