Sekjen PBB Serukan Sudan Terapkan Gencatan Senjata Idul Fitri

Pertempuran di Sudan diharapkan bisa dihentikan tiga hari untuk hormati Idul Fitri

EPA-EFE/STRINGER
Asap mengepul di atas kota selama pertempuran yang sedang berlangsung antara tentara Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Khartoum, Sudan, (19/4/2023). Perebutan kekuasaan meletus sejak 15 April antara tentara Sudan yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan paramiliter dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, mengakibatkan setidaknya 200 kematian menurut asosiasi dokter. di Sudan.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan pemberlakuan gencatan senjata di Sudan dalam rangka perayaan Idul Fitri. Dia berharap pertempuran antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dapat dihentikan setidaknya selama tiga hari.

“Kita sedang menjalani momen yang sangat penting dalam kalender Muslim. Saya pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengadakan gencatan senjata. Kami telah melakukan kontak dengan para pihak, kami yakin itu mungkin,” kata Guterres kepada awak media, Kamis (20/4/2023).

Menurut Guterres, gencatan senjata dalam rangka Idul Fitri akan memungkinkan warga Sudan yang terjebak di zona konflik untuk mengevakuasi diri mereka. Selain itu, mereka pun bisa mencari perawatan medis, makanan, dan persediaan penting lainnya. “Gencatan senjata ini sangat penting pada saat ini,” ucapnya.

Dia mengatakan, gencatan senjata Idul Fitri harus menjadi langkah pertama untuk memberikan jeda pertempuran sekaligus membuka jalan bagi gencatan senjata permanen. “Penghentian permusuhan harus diikuti dengan dialog serius yang memungkinkan transisi berhasil, dimulai dengan penunjukan pemerintahan sipil,” ujar Guterres.

Pertempuran antara militer Sudan dan kelompok RSF pecah pada 15 April lalu. Konfrontasi bersenjata terjadi ketika negara tersebut tengah berusaha melakukan transisi politik pasca ditumbangkannya rezim mantan presiden Omar al-Bashir oleh militer pada 2019.

Saat ini tentara Sudan dan RSF sedang memperebutkan objek-objek vital seperti istana kepresidenan dan markas komando militer. Pertempuran sengit masih terjadi di beberapa titik di ibu kota Khartoum yang berpenduduk 5 juta orang. Mayoritas warga di sana memutuskan berlindung di rumah masing-masing tanpa pasokan listrik, makanan, dan air.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 300 orang tewas sejak pertempuran pecah pada 15 April lalu. Sementara korban luka melampaui 3.000 orang.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler