Minimnya Ketersediaan Air Bersih Lahirkan Musim Lapar di Sumba
Musim lapar muncul di Sumba, NTT, karena kemarau panjang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis sosial Franky Banfatin mengatakan bahwa musim lapar yang terjadi akibat minimnya ketersediaan air bersih di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi perhatian khusus dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. "Saat kami ke Sumba, ternyata di sana ada namanya musim lapar, yang muncul akibat kemarau yang cukup panjang selama Bulan April-November. Di daerah yang kering seperti Sumba, dengan musim kemarau panjang dan ketersediaan air bersih yang terbatas, dampaknya akan lebih panjang dari yang kita pikirkan," kata Franky saat jumpa pers lari sehat 6K untuk air bersih Sumba di kantor Wahana Visi Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (9/5/2023).
Franky mengatakan, selain kurangnya ketersediaan air bersih, masyarakat Sumba juga belum sepenuhnya mendapatkan akses ke listrik. "Ketika tidak ada aksesnya, maka akan berdampak pada kehidupan sosial. Anak-anak tidak bisa belajar dengan maksimal, ada risiko terjadi pencurian juga, apalagi kalo itu terjadi ketika masa kering. Jadi memang banyak risiko ketika air tak bisa dikonsumsi dengan baik oleh anak, banyak sekali lapisan yang bisa kena dampak," tutur Franky.
Selain itu, dia juga mengatakan bahwa hal ini juga akan berdampak pada sektor mata pencaharian, karena sebagian besar masyarakat Sumba mencari nafkah dengan bertani, berladang, dan beternak. "Jadi kalau tidak ada air bersih, itu juga akan berpengaruh ya pada pendapatan mereka," ujar Head of Social Impact and Sustainability Wahana Visi Indonesia ini.
Kurangnya air bersih ini juga turut menyumbang peningkatan kasus balita kurang gizi di NTT yang menjadi provinsi dengan prevalensi stunting paling tinggi di Indonesia, yakni 44,9 persen. Senada dengan Franky, aktivis sosial Tara Dermawan juga menuturkan pengalamannya saat melihat dan merasakan langsung kehidupan di Sumba.
"Saat ke Sumba, selain diskusi sama warga, aku juga sempat mengunjungi salah satu rumah warga yang punya kebun gizi. Jadi setiap tetangga yang mau makan, bisa ambil dari kebun gizi. Dipetik, dicuci, direbus, nah di situ kita masak-masak bersama, tetapi sayangnya, kebun gizi ini banyak yang gagal panen karena kekurangan air," kata Tara.
Tara juga berkisah bahwa dirinya pernah berdiskusi dengan salah satu warga dan menghitung pemasukan serta pengeluaran mereka sehari-hari, termasuk untuk air, dimana mereka harus membeli sebesar Rp400-1.000 rupiah untuk satu paket dalam jeriken kecil.
"Kita coba hitung pemasukan sama pengeluaran mereka untuk sehari-hari termasuk air, itu tuh sampai minus," ujar Tara.
Ia menuturkan, masyarakat Sumba lebih memprioritaskan untuk membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari. "Jadi masalah prioritas juga sih, uang itu lebih banyak untuk makanan, jadi sering kali mereka tidak minum kalau tidak haus, sementara kebutuhan air untuk tubuh itu kan penting banget ya," katanya.
Tara yang mengaku telah mengikuti kampanye air bersih untuk Sumba sejak dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), merasa bahwa fokus pada ketersediaan air bersih ini penting bagi kelangsungan hidup anak-anak di masa mendatang.
"Karena air adalah sumber kehidupan, mulai dari tanaman, anak-anak, semua orang butuh air. Air jadi salah satu yang harus diprioritaskan untuk masyarakat Sumba," katanya.