Bareskrim Sebut Ada Celah di Imigrasi Terkait Kasus TPPO 20 WNI di Myanmar
Para korban scaming online ini menargetkan warga-warga Amerika dan Eropa.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidik Bareskrim Polri membeberkan modus operandi praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terhadap 20 warga negara Indonesia (WNI) yang sempat tersandera di wilayah konflik di Myawaddy, Myanmar. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, dari pemeriksaan terhadap dua tersangka yang sudah ditahan dan keterangan saksi-saksi korban, terungkap adanya celah di keimigrasian.
Yakni, atas penggunaan surat tugas non-visa kerja dengan tujuan negara-negara di Asia Tenggara. Djuhandani mengatakan, terkait kasus 20 WNI korban TPPO ini, dua orang sudah ditetapkan tersangka saat penangkapan di lakukan di Bekasi, Jawa Barat (Jabar), pada Rabu (10/5/2023) malam.
Dua tersangka yang ditangkap tersebut atas nama, Andri Satria Nugraha (ASN), dan juga Anita Setia Dewi (ASD). Kedua rekanan tersebut, kata Djuhandani adalah pihak perekrut pekerja Indonesia melalui CV Prima Karya Gemilang untuk diberangkat ke negara semula, Thailand.
“Modus operandinya, yaitu menggunakan nama perusahaan di Indonesia untuk penempatan pekerja di Thailand, tanpa menggunakan visa kerja. Tetapi pekerja Indonesia itu dibekali surat tugas dari CV Prima Karya Gemilang untuk mengelabui petugas imigrasi,” kata Djuhandani, di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Dari penggunaan surat tugas ke luar negeri tersebut, para pekerja yang berhasil direkrut dibawa terbang ke Bangkok. “Mereka terbang ke Bangkok dengan surat tugas dengan alasan untuk interview dan seleksi kerja. Dan apabila diterima, akan diterbitikan visa kerja,” tegas Djuhandani.
Para pekerja itu, pun dikatakan dibekali uang tiket pulang pergi Jakarta-Bangkok. Dalam lanjutannya, para pekerja tersebut, dijanjikan pekerjaan sebagai operator marketing online. “Dengan gaji antara 12 sampai 15 juta per bulan,” ujar Djuhandani.
Para pekerja dijanjikan bonus atau komisi tambahan di luar upah kerja, jika kerja-kerja markating yang dilakukan mencapai target. “Jam kerja yang ditawarkan selama 12 jam per hari dan 6 bulan sekali boleh cuti dan dapat kembali ke Indonesia,” ujar Djuhandani.
Akan tetapi, setibanya para pekerja itu di Bangkok, pihak penampung di Negeri Gajah Putih itu memberikan kontrak kerja dengan bahasa Cina. “Yang itu tidak dimengerti isi kontrak dalam bahasa tersebut,” ujar Djuhandani.
Dari celah bahasa dalam kontrak tersebut, membuka peluang terjadinya eksploitasi terhadap para pekerja asal Indonesia itu. Karena itu realisasi tawaran kerja semula yang ditawarkan menjadi operator marketing online di Bangkok, berujung pada profesi penipuan dan pencurian data daring atau scaming online di Myanmar.
“Setelah dari Jakarta tiba di Bangkok, pekerja Indonesia ini dibawa ke wilayah perbatasan Thailand dan Myanmar, di Maysot,” kata Djuhandani.
Para pekerja Indonesia, itu pun dibawa dengan cara ilegal untuk masuk ke negara junta militer tersebut. Selanjutnya eksploitasi para pekerja Indonesia itu pun mulai dilakukan dengan memaksa para tenaga imigran itu melakukan profesi yang tak sesuai janji awal. Akan tetapi dipekerjakan sebagai pencuri, dan penipu daring melalui internet.
“Perusahaan scaming online penampung pekerja Indonesia itu perusahaan milik warga Cina yang ditempatkan satu tempat yang khusus dan tertutup dan dijaga oleh orang-orang bersenjata,” terang Djuhandani.
Di markas scaming online itu, para pekerja Indonesia menjalani profesi paksa selama 16 jam sehari. “Mereka bekerja dari pukul 20:00 malam, sampai pukul 14:00 siang pada hari berikutnya. Jadi mereka bekerja selama 16 jam kadang sampai 18 jam,” terang Djuhandani.
Dalam realisasi pengupahan juga tak sesuai dengan janji awal. Karena dikatakan dia, dari keterangan para korban, mereka hanya mendapatkan upah tak sampai Rp 3 juta. Upah tersebut, hanya diberikan awal.
“Karena pada bulan-bulan berikutnya, pekerja Indonesia itu tidak digaji sama sekali,” terang Djuhandani.
Dalam hal situasi pekerjaan selama pengalaman para pekerja juga tak manusiawi. Karena, para pekerja dipaksa untuk mencapai target tertentu dalam setiap melakukan scaming online melalui media sosial (medsos) Facebook dan Instagram.
“Jika tidak sesuai target, pekerja Indonesia akan mendapat hitungan potongan gaji dan tidak jarang terjadi pemukulan, dan kekerasan fisik lainnya. Juga ada yang mendapatkan perlakuan pengurungan di tempat yang khusus,” ujar Djuhandani.
Dalam pekerjaan scaming online tersebut, menurut Djuhandani, modus operandi dalam bisnis ilegal tersebut dengan cara melakukan kontak sambung melalui aplikasi media sosial, dan juga call massage, ataupun video call terhadap targetnya.
Djuhandani mengatakan, dari komunikasi tersebut, manakala dari korban (scaming) ingin melakukan video call, maka pekerjanya menyajikan video-video model dari Rusia, ataupun model-model dari Cina yang sudah disiapkan. Para korban scaming online ini menargetkan warga-warga Amerika dan Eropa.
“Di perusahaan ilegal tempat pekerja itu juga sudah menyiapkan aplikasi-aplikasi yang otomatis bisa menjawab komunikasi-komunikasi dengan menggunakan Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya,” ujar Djuhandani.
Penanganan kasus di Indonesia
Djuhandani menerangkan, tim penyidikannya di Dirtipidum Bareskrim Polri saat ini, sudah melakukan penahanan terhadap tersangka ASN dan ASD. Dari penyidikan terhadap kedua tersangka itu, kata Djuhandani, ditemukan fakta bahwa keduanya hanya bertanggungjawab terhadap 16 dari 20 WNI korban TPPO yang sempat tersandera di Myanmar itu.
“Jadi dari tersangka Andri dan Anita itu, hanya mengakui 16 dari 20 yang direkrut ke Myanmar itu,” terang Djuhandani.
Dari pendalaman penyidikan juga ditemukan fakta, bahwa selain 20 pekerja WNI korban TPPO itu, juga ada lima WNI lainnya yang dikatakan kabur tak ingin kembali ke Indonesia.
“Jadi sebenarnya yang viral kemarin itu disampaikan 20. Tetapi ada lima lainnya, yang memilih kabur. Jadi ada 25 WNI di Myanmar,” tegas Djuhandani.
Dari total 25 tersebut, perekrutan melalui tersangka ASN, dan ASD tak semuanya. Ada satu perekrut tenaga kerja lainnya berinisial ER yang sampai hari ini, kata Djuhandani masih dalam penyelidikan dan pencarian.
“Yang sembilan dari total 25 pekerja Indonesia itu, perekrutannya lewat yang sedang dicari itu. Inisialnya ER,” tegas Djuhandani.