Caleg Artis Menjamur Setiap Pemilu Meski Selalu Sedikit yang Berhasil Lolos ke Senayan
Persentase caleg artis yang lolos ke Senayan terus turun dari pemilu ke pemilu.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A
Nama selebritas atau yang kerap dipanggil artis kembali bertaburan dalam daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) DPR RI Pemilu 2024. Padahal, peluang menang bisa terbilang mereka kecil.
Partai politik dinilai hanya memanfaatkan para pesohor itu sebagai pengepul suara demi melampaui ambang batas parlemen. Keikutsertaan para selebritas itu diungkapkan, bahkan dipamerkan, oleh elite partai politik saat mendaftarkan bakal calon anggota legislatif (caleg) DPR RI di kantor KPU RI, Jakarta, sepanjang dua pekan pertama Mei 2023.
Setidaknya ada delapan partai politik yang secara terbuka mengungkapkan nama sebagian selebritas yang mereka daftarkan. Pengusung selebritas itu tak hanya partai non-parlemen, seperti Perindo dan PSI, tapi juga partai pemenang pemilu sebelumnya, PDI Perjuangan. Partai bercorak Islam dan partai nasionalis lainnya juga ikut.
Jumlah bakal caleg artis yang diungkapkan para elite partai itu lebih dari 50 orang. Mereka punya latar belakang beragam, mulai dari aktor, komedian, penyanyi, budayawan, pesulap, mantan atlet, hingga pembawa acara berita. Di antaranya komedian Narji Cagur, penyanyi Once Mekel, chef Arnold, mantan atlet bulu tangkis nasional Taufik Hidayat, pesulap Uya Kuya, hingga artis kontroversial Aldi Taher.
Ilmuwan politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ridho Al-Hamdi, memperkirakan hanya sebagian kecil caleg selebritas itu yang berhasil memenangkan kursi anggota dewan. Prediksi itu berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya yang menunjukkan ada penurunan persentase caleg selebritas yang berhasil melenggang ke Senayan.
Dalam jurnal berjudul 'Keterlibatan Selebriti Dalam Pemilu Indonesia Pasca Orde Baru' karya Ikshan Darmawan, tercatat ada 61 selebritas yang nyaleg pada Pemilu 2009. Sebanyak 19 orang di antaranya atau 31 persen berhasil menang.
Dalam Pemilu 2014, jumlah caleg selebritas meningkat jadi 77 orang. Yang berhasil merebut kursi anggota dewan sebanyak 22 orang atau 29 persen.
Pada Pemilu 2019, persentase caleg artis yang memenangkan kursi legislator anjlok. Berdasarkan data penelitian Ridho, terdapat 116 caleg selebritas pada Pemilu 2019. Namun, yang berhasil menang hanya 14 orang atau 12 persen saja.
"Menurut saya, dengan peta yang seperti sekarang ini, bisa jadi makin lebih kecil persentase caleg selebritas yang bakal mendapatkan kursi dalam Pemilu 2024," kata Ridho ketika dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (18/5/2023).
Ridho mengatakan, mengecilnya peluang caleg artis menang pada Pemilu 2024 disebabkan oleh dua hal. Pertama, kinerja selebritas yang menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024 biasa-biasa saja, tidak bisa membawa perubahan signifikan di parlemen. Kedua, pemilih muak dengan kinerja anggota dewan secara keseluruhan yang acap kali membuat undang-undang yang bertolak belakang dengan kehendak publik.
"Kan masyarakat jenuh ya melihat anggota DPR itu kontradiktif dengan harapan masyarakat. Banyak orang kecewa. Jadi, mereka berpikir, 'Ah sudahlah, apalagi caleg selebritas'," kata pria peraih gelar doktor ilmu politik dari TU Dortmund University, Jerman, itu.
Alat partai
Meski peluang caleg artis untuk menang terbilang kecil, tetap saja banyak partai politik mengusung para pesohor itu. Menurut Ridho, partai melakukan hal tersebut demi bisa mengalahkan momok bernama parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen suara nasional.
"Partai-partai ini kan takut sekali tidak lolos parlimentery threshold. Kalau tidak lolos, partai bakal kehilangan segalanya," kata penulis buku berjudul Ambang Batas Pemilu: Pertarungan Partai Politik dan Pudarnya Ideologi itu.
Ambang batas parlemen mengharuskan partai politik meraih suara sah sebesar 4 persen secara nasional dalam pemilihan anggota DPR RI agar bisa menempatkan calegnya sebagai anggota dewan. Suara yang diperoleh semua caleg akan dihitung sebagai suara partai, tapi hanya caleg peraih suara tertinggi di dapil yang berhak duduk di parlemen.
Dalam konteks inilah, kata Ridho, partai menggunakan selebritas sebagai vote getter atau pengepul suara semata, tanpa perlu ambil pusing memikirkan pesohor itu lolos ke parlemen atau tidak. "Suara yang diperoleh caleg selebritas tetap dihitung sebagai suara partai meski dia tidak mendapatkan kursi," ujarnya.
Ridho melanjutkan, partai menjadikan selebritas sebagai vote getter juga karena cenderung berbiaya murah. Tidak perlu dana besar untuk mengenalkan para pesohor itu kepada masyarakat karena mereka sudah populer. Penggemar mereka di daerah pemilihan (dapil) bisa dikapitalisasi menjadi pemilih.
"Partai lebih memilih artis karena enggak usah kampanye, diam saja, pasti dapat suara. Daripada orang tidak terkenal, butuh modal untuk dikenalkan terlebih dahulu kepada pemilih," kata Ridho.
Selain tak perlu biaya besar untuk kampanye, partai juga tidak harus mengeluarkan uang untuk melakukan kaderisasi. Sebab, Ridho meyakini partai politik tak mendidik para caleg selebritas itu, melainkan hanya mencomot mereka jelang tahun pemilu.
"Di sini konsekuensinya ideologi partai memudar. Tidak ada hal yang penting lagi karena yang penting ada tukang kepul suara," ujar dosen Ilmu Pemerintahan UMY itu.
Pembina pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan hal serupa. Berdasarkan pengamatannya, mayoritas selebritas masuk partai dan menjadi caleg secara instan tanpa melalui tahapan kaderisasi.
Sebagai orang yang tidak punya pengalaman dalam dunia politik, kata Titi, seharusnya para selebritas itu dididik terlebih dahulu agar punya kompetensi sebagai anggota dewan. Tak kalah penting, para pesohor itu juga harus menginternalisasikan ideologi atau garis perjuangan partai sebelum diusung sebagai caleg.
Pembekalan itu, kata Titi, penting dilakukan karena anggota dewan punya tanggung jawab besar sebagai wakil masyarakat. Mereka merupakan salah satu aktor politik yang berperan menentukan "masa depan orang banyak".
Berhubung mayoritas caleg selebritas kini belum berkualitas dan hanya digunakan sebagai pendulang suara, Titi mendorong pihak terkait untuk mendidik masyarakat dalam memilih. Warga harus diedukasi agar mencoblos caleg yang punya kompetensi, bukan calon yang populer semata.
"Pemilih harus terus diedukasi agar tak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang hanya bersifat popularitas atau simbolik," kata Titi, yang merupakan dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia itu.