Semangat Revisi UU TNI dan Kecemburuan ke Polri

TNI merasa cemburu dengan Polri yang leluasa menduduki jabatan kementerian/lembaga.

Antara/Irfan Sumanjaya
Revisi UU TNI memasukkan ketentuan tentang penambahan delapan kementerian/lembaga yang bisa diduduki TNI aktif. Foto ilustrasi TNI latihan.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Erik Purnama Putra, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang memuat tentang penambahan delapan kementerian/lembaga negara yang bisa diduduki militer aktif sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Mengherankan memang ketika para pengkritik atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyoroti aturan tersebut. Pasalnya, selama ini, pada kenyataannya praktik itu sudah terjadi.

Beberapa kementerian/lembaga negara sudah diduduki personel TNI yang diperbantukan di instansi tersebut. Pun pelaksanaannya sudah berlangsung bertahun-tahun dan tanpa gejolak. Karena itu, mengapa sekarang seolah mendapat penolakan? Atau sekadar pura-pura menolak dan mengkritik agar tetap terlihat tajam di mata publik?

Kembali lagi ke Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur prajurit aktif bisa menduduki jabatan di 10 kementerian dan lembaga. Perinciannya adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kemudian, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Narkotik Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung (MA).

Di aturan baru yang sedang digodok Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI yang diberi kewenangan menyusun draft RUU TNI, memuat delapan kementerian/lembaga negara tambahan untuk militer aktif. Daftarnya adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Staf Kepresidenan, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Berikutnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) Kemendagri, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung (Kejagung), serta opsi terbuka untuk kementerian lain.

Dari delapan institusi yang disebut tersebut, saat ini sudah ada personel militer yang diberdayakan. Misalnya, ketika posisi untuk militer di Kejagung dihapuskan imbas tuntutan reformasi, sekarang ruang untuk TNI diadakan lagi. Hal itu menyusul diadakannya jabatan Jaksa Agung Pidana Militer (Jampidmil) yang diduduki perwira tinggi (pati) bintang dua. Di Kemenko Marves misalnya, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan malah tidak sedikit memberdayakan prajurit TNI yang memiliki otak encer untuk membantu kinerjanya sehari-hari.

Pun di Bakamla, malah beberapa posisi penting dan puncak selalu diduduki pati bintang tiga TNI AL. Alhasil, kalau berbicara delapan institusi tersebut maka sudah tidak terhitung berapa banyak prajurit TNI diberdayakan dan diperbantukan di situ. Mereka bisa berdinas karena memang kementerian/lembaga negara itu membutuhkan dan disetujui masing-masing matra.

Menjadi masuk akal akhirnya alasan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksda Julius Widjojono menyampaikan, ketika UU TNI disahkan pada 2004, beberapa institusi itu malahan belum berdiri. Ketika muncul instansi baru, semisal BNPT, BNPP di bawah Kemendagri, BNPB, maupun Staf Presiden yang baru ada pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), TNI sudah bisa berdinas di semua lembaga negara tersebut.

Intinya Mabes TNI di sini adalah ingin agar ada payung hukum sebagai pegangan. Dengan begitu, perbantuan atau mutasi personel TNI ke-18 instansi itu bisa diformalkan tanpa perlu lagi berdasarkan permintaan individu pimpinan atau selera menteri, misalnya. Dengan kata lain, ruang jabatan untuk personel TNI semakin bertambah, namun tempat dinasnya harus relevan dengan latar belakang matra terkait.

Penulis menekankan, sebaiknya yang perlu disoroti adalah kata 'opsi terbuka untuk kementerian lain'. Kalimat ini sangat bersayap dan bisa bermakna ganda, tergantung selera penguasa. Sehingga berbagai elemen masyarakat yang tidak ingin TNI semakin leluasa bisa berdinas di kementerian/lembaga negara, untuk habis-habisan mengkritik aturan itu. Bahkan, kalau bisa tujuannya sampai menghapus aturan karet tersebut karena ruang penafsirannya terlalu luas.

 

Dalam mengkritik TNI, sebaiknya mereka yang concern agar praktik Dwi Fungsi ABRI tidak kembali terjadi pada era sekarang, bisa fokus dan terukur membabat isi pasal yang membuka peluang untuk itu. Contohnya, jika memang militer aktif bisa berdinas di 18 instansi maka pasal yang mengaturnya harus tegas dan jelas. Kalimatnya tidak boleh dibuat bersayap. Dengan begitu, para penyusun dan pembuat draft RUU TNI bisa lebih hati-hati dan tidak memuat aturan yang isinya bermacam-macam dan malahan mengundang sorotan dari masyarakat.

Hanya saja, penulis curiga, penyusunan RUU TNI ini tidak murni didasarkan keinginan militer untuk bisa menguasai jabatan sipil seperti pada era Orde Baru. Bahkan, sampai harus ditempatkan di DPR seperti dulu ada Fraksi ABRI. Di sini, terlihat jika TNI 'merasa cemburu' dengan kiprah Polri yang semakin leluasa bisa menduduki berbagai jabatan di kementerian/lembaga negara.

TNI sepertinya 'merasa dianaktirikan' dengan melihat banyaknya pati Polri yang bisa menjabat di posisi strategis. Misalnya, Irjen Kemendagri, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Inspektur Utama Setjen DPR, Kementerian ATR/BPN, dan beberapa jabatan penting lain di luar struktur Mabes Polri. Pun beberapa pati Polri juga menduduki posisi strategis di 18 instansi yang dapat ditempati militer aktif.



Berkaca dari fakta itu, sangat terlihat jika TNI tidak ingin disisihkan dengan hanya bisa menduduki jabatan di instansi terbatas, sementara Polri bisa dengan bebas masuk di berbagai kementerian/lembaga negara. Bisa saja, Anda tidak setuju dengan analisis ini. Namun, kenyataan di lapangan seperti itu.

Yang menjadi catatan, RUU TNI ini juga belum tentu mendapatkan persetujuan dari Kemenhan. Apalagi, muncul keinginan Mabes TNI ingin mengelola anggaran sendiri seperti yang dilakukan Mabes Polri selama ini. Padahal, dalam aturan sekarang, masalah anggaran TNI menjadi kewenangan Kemenhan. Karena itu, masih membutuhkan proses panjang agar RUU TNI bisa mendapatkan persetujuan dari seluruh stakeholder, bahkan sebelum diserahkan ke Senayan untuk dibahas bersama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler