Larangan Kejaksaan Usut Korupsi, Pengamat: Kok Dilakukan Saat Gencar Usut Korupsi

Uji Materi kejaksaan sidik korupsi tidak berdasarkan norma- pemberantasan korupsi.

Prayogi/Republika
Pakar pidana Hibnu Nugroho mempertanyakan adanya judicial review kewenangan kejaksaan usut korupsi. Ilustrasi Kejagung tahan Johnny G Plate
Rep: Ali Mansur Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroh terkejut ada judical review (JR) terkait kewenangan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut perkara korupsi, saat institusi itu sedang gencar mengusut perkara-perkara korupsi besar. 

Baca Juga


Hibnu mengatakan saat ini ada peningkatan kinerja Kejaksaan dalam penanggulangan perkara tindak pidana korupsi. Tak heran jika  kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung tinggi.

"Tingginya kepercayaan publik kepada Kejaksaan sebagai salah satu cermin aparat penegak hukum tentu harusnya memberikan optimisme bahwa penanggulangan korupsi akan menjadi lebih baik dan optimal sepanjang tidak adanya gangguan ataupun upaya-upaya pelemahan terhadap Kejaksaan secara institusional," kata Hibnu, Sabtu 3/6/2023). 

Karena itu, lanjutnya, ia heran dengan adanya JR tersebut. Dikatakannya, banyak praktisi maupun akademisi yang berpandangan bahwa pengajuan judicial review kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi ini adalah sebagai salah satu langkah untuk mengaburkan atau mengganggu penanganan tindak pidana korupsi yang tengah gencar dilakukan oleh Kejaksaan pada saat ini,

Hibnu menilai judical review tersebut tidaklah tepat, karena tidak berdasarkan pada norma-norma pemberantasan korupsi. “Pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dimaksud tentu tidak relevan dan tidak berdasarkan pada norma-norma pemberantasan korupsi,” tegas Hibnu Nugroho.

Menurut Hibnu Nugroho, judical review terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia itu ini bukan yang kali pertama dilakukan. Bahkan sebelumnya sudah ada empat  kali gugatan yang sama dan semuanya telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Padahal, kata dia, kebijakan penanggulangan perkara tindak pidana korupsi dibutuhkan adanya pemikiran secara progresif tidak hanya dari sisi praktis yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saja. Namun juga, sambung Hibnu Nugroho, dari segi legislasi atau peraturan perundang-undangan.

Hal ini, kata dia, kian mendesak terutama mengingat bahwa kondisi negara Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Indonesia berada dalam status darurat korupsi. Maka pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melalui proses perenungan dan kajian secara mendalam.

“Dimana penanganan korupsi tidak cukup hanya dilakukan oleh satu lembaga saja melainkan harus dilaksanakan secara integral,” ungkap Hibnu Nugroho.

Pengaturan tersebut, menurut Hibnu, juga sekaligus merupakan terobosan atau inovasi dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia yang selama ini menganut asas diferensiasi fungsional. Tentunya dapat dimaknai sebagai pembagian tugas dan wewenang aparat penegak hukum secara instansional.

Apalagi dikaitkan dengan asas peradilan pidana, maka keberadaan Jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi merupakan pengejawantahan asas peradilan cepat.

“Penanganan tindak pidana korupsi dalam satu atap seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan dan KPK jauh lebih efektif dan efisien, sehingga haruslah dianggap sebagai keuntungan tersendiri dalam penanganan korupsi yang pada umumnya membutuhkan kecepatan dan ketepatan untuk mengungkap modus operandi, para pelaku, dan aset hasil pidana,” tutur Hibnu Nugroho. 

Judicial review pantas ditolak....

 

Judicial review pantas ditolak

Sebelumnya, sejumlah advokat mengajukan judical review atau uji materi sejumlah pasal dan frasa terkait kewenangan jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Mereka menginginkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi dicabut.

Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Gede Dewa Palguna memandang judicial review terkait kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan perkara korupsi pantas ditolak. Apalagi kalau pengujian undang-undang itu tak disertai dengan argumentasi baru. 

Palguna menjelaskan perkara ini sudah pernah diuji ketika dirinya menjabat di MK (antara tahun 2003-2008). Pada saat itu perkara diajukan oleh advokat senior O.C. Kaligis. 

Saat itu, yang dipersoalkan adalah menyatunya kewenangan penyidikan dan penuntutan di satu tangan, yaitu di tangan kejaksaan sehingga dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan. Sebab, saat penyidik berkonsultasi dengan penuntut perihal ada tidaknya tindak pidana korupsi sesungguhnya berarti jaksa berhubungan dengan dirinya sendiri karena baik penyidik maupun maupun penuntut adalah orang yang sama yaitu jaksa. 

"Namun, dengan berbagai pertimbangan waktu itu, permohonan ini ditolak. Karena itu, permohonan saat ini mestinya dinyatakan tidak dapat diterima (karena sudah pernah diuji sebelumnya dan dinyatakan ditolak)," kata Palguna kepada Republika, Rabu (31/5/2023). 

Pengujian ini bisa bernasib berbeda, menurut Palguna, kalau pemohon mengajukan argumentasi konstitusionalitas baru ketimbang argumentasi permohonan sebelumnya. Sehingga, persoalannya bukan soal tepat atau tidak menghapus kewenangan kejaksaan menjadi penyidik sekaligus penuntut tindak pidana korupsi.

"Melainkan apakah terdapat argumentasi baru untuk menilai konstitusional atau tidaknya kejaksaan memiliki dua kewenangan yang seharusnya dipisahkan dan berada di tangan lembaga yang berbeda?" ucap Palguna. 

Atas dasar itu, Palguna memandang pengujian ini tak perlu didramatisasi sebagai serangan balik koruptor. Menurutnya, ini perkara biasa yang cukup dihadapi dengan argumentasi normatif. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler