Rekonsiliasi Gerindra-Pemerintah Berdampak Pemilih Jokowi-Ma'ruf Mulai Beralih ke Prabowo

Prabowo dinilai berhasil mensolidkan basis pemilih lamanya ditambah pemilih Jokowi.

AP Photo/Vincent Thian
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga bakal calon presiden dari Partai Gerindra. (ilustrasi)
Rep: Fauziah Mursid Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menyebut kunci utama keunggulan sementara bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto karena berhasil mensolidkan basis pemilihnya di Pilpres 2019 dan mencuri sebagian pemilih Jokowi-Ma'ruf. Berdasarkan survei teranyar Indikator Politik, 50 persen pemilih Jokowi-Ma'ruf mendukung Ganjar tetapi ada 27,2 persen yang memilih Prabowo.

Baca Juga


Sementara itu, pemilih Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 lalu masih mayoritas memilih Prabowo dengan 59,5 persen.

"Itu kunci keunggulan Pak Prabowo, dia berhasil menyolidkan basis sendiri pemilih lamanya, sambil mencuri sebagian pendukung Pak Jokowi, sehingga tidak sepenuhnya dimonopoli oleh Ganjar," ujar Burhanuddin dalam rilis surveinya, Ahad (4/6/2023).

Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Andre Rosiade saat menjadi penanggap survei, bersyukur atas kenaikan elektabilitas Prabowo. Selain karena kerja mesin Gerindra, Andre tidak menampak sejumlah faktor penyebabnya.

Salah satunya, rekonsiliasi Partai Gerindra dengan bergabung ke koalisi Pemerintahan Jokowi. Hal ini kata Andere, terlihat dari 27 persen pemilih Jokowi-Ma'ruf yang mendukung pencapresan ketua umumnya tersebut.

"Sudah 27 persen itu menunjukkan masyarakat sangat sadar, persatuan, rekonsiliasi, ketulusan Pak Prabowo kenegarawanan beliau, semangat bekerja keras membantu Pak Jokowi itu memang berdampak positif," ujar Andre.

Menurut dia, hal ini juga tergambar dengan tren positif kinerja pemerintah, yakni hampir 80 persen masyarakat Indonesia puas terhadap kinerja Presiden Jokowi. Andre mengatakan, jika survei sebelumnya menunjukan pemilih Jokowi-Ma-ruf yang mendukung Ganjar mencapai lebih dari 60 persen, kini mulai berkurang dan bergeser ke Prabowo. Andre menilai, ini juga menunjukan masyarakat menilai positif kinerja Prabowo dalam membantu Presiden Jokowi sebagai menteri pertahanan.

"Jadi menunjukkan bahwasanya ketulusan, loyalitas dan kebersamaan Pak Prabowo dan Pak Jokowi, di mana Pak Prabowo betul-betul bersungguh-sungguh membantu Pak Jokowi dalam memimpin Indonesia ini terlihat Bagaimana pemilih Pak Jokowi perlahan tapi pasti alhamdulillah mulai bergeser memilih Pak Prabowo," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Andre juga menilai keunggulan sementara Prabowo tidak membuat Gerindra jumawa dan berpuas diri. Sebaliknya, capaian ini menjadi pemecut semangat Gerindra untuk terus menggerakan mesin partainya guna pemenangan di Pilpres 2024.

"Sesuai dengan yang beliau sampaikan, survei yang berdampak positif dan tren yang kita terus naik jadi kan ini penambah semangat untuk kita bekerja lebih keras lagi, lebih turun lagi ke lapangan, terus temui masyarakat terus hadir di tengah masyarakat," ujarnya.

Survei Indikator Politik ini dilakukan pada rentang 26-30 Mei 2023 dengan metode telepon secara acak ke 1.230 responden. Margin of error survei diperkirakan 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

 


Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali menilai sebagian orang masih menunggu isyarat dukungan Presiden Jokowi di Pilpres 2024. Pernyataan Effendi itu mengacu pada survei terbaru Indikator Politik Indonesia.

"Pada sisi lain pada kepuasan ke Pak Jokowi maupun hasil pemilu 2019 lalu, kita masih ingin melihat isyarat Pak Jokowi, walaupun tentunya isyarat itu lebih kepada hal-hal yang tidak langsung disampaikan," ujar Effendi dikutip dari Youtube Indikator Politi, Senin (5/6/2023).

Namun demikian, Effendi menilai yang dinantikan para pemilihnya lebih ke isyarat-isyarat tersirat mulai dari cara maupun sikap Jokowi menilai salah satu calon.

"Isyarat-isyarat yang sifatnya senyumnya ataupun ini barangkali tidak mengeluh ketiga ada baliho-baliho (yang menyandingkan dengan Jokowi) ini isyarat juga, atau no comment juga isyarat," ujar Effendi.

Effendi juga meyakini, sebagian pihak akan terus melanjutkan diskusi tentang Presiden Jokowi yang cawe cawe di pilpres. Apalagi, hal ini juga sudah disinggung mantan Gubernur DKI Jakarta itu beberapa waktu sebelumnya.

"Cawe-cawe atau tidak, memasang dua kaki atau tidak, karena apa? Ternyata baik dalam konteks pemilu sebelumnya atau kepuasan terhadap kinerja Pak Jokowi saat ini, itu masih terbagi pada dua orang itu (Ganjar dan Prabowo) dan cenderung lebih dinikmati oleh Bapak Prabowo pada hari ini," ujarnya.

Namun demikian, dia berharap preferensi politik Jokowi ini tidak sampai berpengaruh hingga pasangan capres maupun cawapres ini telah resmi didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dia juga berharap dukungan itu tidak menyalahi batasan sebagai kepala negara.

"Sampai nanti ada calon presiden atau calon wakil presiden yang sudah didaftarkan, presiden petahana biasanya itu langsung menggunakan haknya untuk mendukung kampanye secara sah, asal tidak di luar waktu kampanye, asal tidak menggunakan fasilitas negara," ujarnya.

Effendi juga menyebutkan konsep teori pilihan ke tengah atau jalan tengah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Teori ini menurut Effendi menguntungkan Prabowo yang mendapat suara dari warga yang berpaling Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan.

Effendi menjelaskan, pada teori pilihan tengah atau jalan tengah ini berlaku orang yang berpaling dari satu pendulum atau calon presiden dalam hal ini tidak langsung berpaling ke pendulum lainnya atau capres yang bersebrangan, tetapi cenderung ke tengah. Effendy mengasosiasikan pendukung Anies dan pendukung Ganjar yang bersebrangan.

Sehingga jika pendukung salah satu capres ini berpaling, maka tidak ke capres lawannya, melainkan di posisi tengah yang diasosiasikan ke Prabowo Subianto.

"Apalagi pendulum di sebelah lainnya yang saya katakan (koalisi) perubahan ini, masih menahan diri, untuk mengeluarkan calon wakil presiden masih dipilih, semua juga demikian, kecuali ada pendekatan eksperimental. Ini di luar survei ini, tetapi teori pemilihan ke tengah atau teori jalan ke tengah ini, kalau dia berpindah ke pendulum, nggak posisi ekstrim tapi ke tengah dan masuknya ke Pak Prabowo," kata Effendi.

Karena itu, jika kelompok pendukung Anies melakukan serangan kepada kelompok pendukung Ganjar atau pendukung Jokowi yang notabene didominasi pemilih Ganjar, maka belum tentu suara yang beralih ke Anies. Begitu juga jika kelompok Ganjar berusaha mempengaruhi pendukung Anies agar berpaling, maka tidak otomatis suara kelompok Anies lari ke kubu Ganjar.

"Ketika anda menyerang Jokowi misalnya, nanti yang tinggi angka Prabowo, ketika anda menyerang Ganjar, yang tinggi angka Prabowo, Ketika anda menyerang Anies yang tinggi angka Prabowo, jadi dapat kiri dan kanan dengan teori jalan tengah atau teori pilihan Tengah ini," katanya.

Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi juga ikut mendukung teori jalan tengah yang disampaikan Effendi Gazali. Burhanuddin menilai, teori ini menawarkan pilihan kedua bagi masyarakat yang beralih pilihan politiknya.

Namun demikian, perpindahan politik ini tidak terlalu ekstrem, melainkan ke pilihan politik yang lebih dekat dengan pemilih tersebut.

"Misalkan kubu Mas Ganjar menghantam Mas Anies, itu pendukung Anies tidak serta mata lari ke Ganjar, mereka lebih mungkin ke Prabowo karena lebih dekat," ujarnya.

Begitu juga kubu Anies yang rajin menyerang Ganjar maupun kebijakan Jokowi, maka pendukung Ganjar yang kecewa atau terpengaruh dengan serangan itu, tidak lantas memilih Anies.

"Kejauhan, memilihnya ya ke Pak Prabowo. ini yang menjelaskan Kenapa Pak Prabowo itu kanan kiri oke, karena dia dapat limpahan suara dari kanan kiri tanpa bekerja ekstra keras," katanya.

 

Ke mana Jokowi berlabuh? - (Republika/berbagai sumber)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler