Fenomena Spanduk Tuyul, Ini Komentar Guru Besar UGM

Masyarakat yang resah justru pergi ke dukun untuk mengetahui akar masalah tuyul itu.

Republika/Bayu Adji P
Warga Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memasang spanduk ada tuyul karena sering kehilangan uang, Sabtu (3/6/2023).
Rep: Shelbi Asrianti Red: Natalia Endah Hapsari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemasangan spanduk terkait tuyul di Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memicu kehebohan. Tulisan pada spanduk itu mengecam "pemelihara tuyul" dan melarangnya beraksi di wilayah tersebut.

Baca Juga


Salah satu warga Kampung Burujul yang memasang spanduk, beralasan kesal sebab uangnya kerap hilang secara gaib. Padahal, dia menyimpan uang dalam laci yang terkunci. Setelah spanduk dipasang, sejumlah warga bercerita pernah mengalami hal serupa.

Masyarakat yang resah juga mengaku sudah pergi ke dukun untuk mengetahui akar permasalahan itu. "Orang pintar" yang disambangi menyebut penyebabnya adalah tuyul. Mengapa masyarakat Indonesia masih percaya terhadap hal-hal berbau klenik?

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Koentjoro, mengaitkannya dengan latar ketimuran yang memengaruhi bangsa Indonesia. Koentjoro mengatakan, dunia timur dan dunia barat berbeda, di mana barat banyak mengutamakan rasio, sementara di dunia timur ada unsur rasa.

Itu membuat cara belajar masyarakatnya berbeda pula. Dunia Barat belajar dengan konsep tulisan, sedangkan bangsa-bangsa timur belajar dengan cara lisan atau tutur. Alhasil, pengetahuan mengenai hal-hal yang mungkin dianggap di luar nalar, juga dapat dibagikan.

"Dengan cara belajar lisan, kalau belum mengerti sungguh-sungguh, mudah diombang-ambingkan. Maklum jika masyarakat kita masih seperti itu," kata Koentjoro saat dihubungi Republika.co.id, Senin (5/6/2023).

Terkait kemunculan isu tuyul di Tasikmalaya, Koentjoro menganalisisnya dalam beberapa aspek. Dari segi wilayah, daerah tersebut banyak didominasi santri, yang kebanyakan belajar secara lisan. Dari sudut pandang lain di ranah psikologis, Koentjoro juga menyoroti soal teror.

Koentjoro menyebutkan ada sebuah buku berjudul Terror Factory, mengulas "pabrik teror" yang dibuat Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI). Artinya, ada sebuah upaya terselubung untuk menciptakan dan menyebarkan teror di masyarakat.

Tidak menutup kemungkinan, teror serupa terjadi di sejumlah tempat, termasuk Indonesia. Salah satu pabrik teror yang disebut Koentjoro berhasil yakni saat terjadinya konflik di Maluku, padahal penduduk di sana punya slogan "kitorang basudara" (kita semua bersaudara).

Menurut Koentjoro, perlu ditelaah lebih jauh apakah "spanduk tuyul" di Tasikmalaya memang dibuat untuk mengecam pihak tertentu yang dituding memelihara tuyul, atau sebenarnya isu yang sengaja dibuat. Hal itu lantaran wilayah terjadinya, yakni Tasikmalaya, amat berpotensi membuat isu tersebut cepat merebak.

Sebelum ini, ada juga sejumlah isu di tempat lain seperti babi ngepet atau kasus penculikan anak. Menurut Koentjoro, perlu didalami apakah hal-hal demikian merupakan upaya dan cara yang disengaja untuk membuat kekacauan di tengah masyarakat.

"Kenapa? Karena ini jelang 2024, tahun politik. Secara psikologis, dengan adanya isu-isu tuyul dan macam-macam, orang menjadi bingung dan butuh pegangan. Saat butuh pegangan, bisa ada ajakan untuk mengikuti kelompok tertentu," tutur Koentjoro.

Menyikapinya, Koentjoro menyarankan agar masyarakat bersikap kritis mengenai kebenaran sejumlah isu yang beredar. Tidak hanya kritis secara pikir, tetapi juga terkait rasa. Bagi penganut agama Islam pun perlu kembali kepada apa yang diajarkan oleh syariat.

Ajaran Islam yang tertuang dalam kitab suci Alquran telah menerangkan bahwa makhluk gaib memang ada dan merupakan ciptaan Allah SWT, namun alamnya berbeda dengan manusia. Selain itu, sudah ada tuntunan untuk berlindung kepada Allah dari gangguan setan.

Koentjoro menganjurkan agar masyarakat tidak mudah terombang-ambing, waspada, dan tidak mudah diprovokasi atau dibodohi. Terlebih, jika spanduk sengaja dibuat untuk menciptakan ketakutan di masyarakat yang pemahamannya masih rendah. Dia pun mengingatkan bahwa ketakutan bisa menular di masyarakat.

"Seharusnya pamong desa atau ulama-ulama di sana banyak bicara, jangan sampai malah "bermain" di situ," tutur psikolog yang menempuh studi doktoral dalam bidang social work and social policy di La Trobe University, Australia, itu.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler