Pil AstraZeneca Tampak Manjur Tekan Angka Kasus Kematian Akibat Kanker Paru
Obat kanker paru bernama osimertinib itu dijual dengan merek Tagrisso.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah uji coba klinis berskala besar membuktikan bahwa pil bernama Tagrisso buatan AstraZeneca efektif memangkas kasus kematian akibat kanker paru-paru. Obat itu diberikan kepada pasien yang mengidap kanker paru stadium awal.
Mereka diminta mengonsumsi satu pil Tagrisso setiap hari selama tiga tahun. Hasilnya, risiko kematian akibat penyakit tersebut turun 51 persen.
Setengah kematian di antara pasien kanker paru-paru stadium awal yang telah menjalani operasi bisa dicegah. Dikutip dari laman NBC News, Selasa (6/6/2023), temuan uji coba telah dipresentasikan di pertemuan tahunan American Society of Clinical Oncology di Chicago, Amerika Serikat, pada Ahad (4/6/2023).
Secara bersamaan, hasil studi juga sudah diterbitkan di New England Journal of Medicine. Data itu adalah yang pertama menunjukkan bahwa pengobatan yang ditargetkan untuk kanker paru-paru stadium awal berdampak pada kelangsungan hidup.
Penyelidik utama dan wakil direktur percobaan di Yale Cancer Center, Roy Herbst, menjelaskan bahwa obat yang disebut osimertinib itu dijual dengan merek Tagrisso. Obat ditujukan pada reseptor spesifik yang membantu pertumbuhan sel kanker.
"Saya yakin kami telah membantu kesembuhan beberapa pasien. Kami benar-benar menunjukkan kemajuan dalam pengobatan kanker paru-paru, tidak seperti sebelumnya," kata Herbst.
Menurut Herbst dan tim peneliti, hasil uji coba itu dua kali lebih baik dari yang diharapkan. Studi yang didanai oleh AstraZeneca itu melibatkan 682 pasien kanker paru-paru dari lebih dari 20 negara di Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Asia, dan Timur Tengah.
Setengah dari peserta diberi pil Tagrisso setiap hari selama tiga tahun, sementara separuh lainnya menerima plasebo. Lima tahun setelah diagnosis, 88 persen dari peserta yang meminum pil masih hidup, dibandingkan dengan 78 persen dari kelompok plasebo.
Tagrisso sudah disetujui di lebih dari 100 negara, termasuk oleh Food and Drug Administration di AS yang menyetujui obat tersebut. Pada 2015, Tagrisso diperuntukkan bagi orang dengan kanker paru-paru stadium lanjut yang melihat penyakit mereka memburuk selama atau setelah menjalani perawatan lain. Kemudian, pada 2020, agensi menyetujui Tagrisso untuk versi awal penyakit tersebut.
Tim peneliti Herbst menunjukkan tiga tahun lalu bahwa Tagrisso mencegah tumor kembali dan mencegah kanker menyebar ke otak, hati, dan tulang. Peneliti sudah mengetahui bahwa obat tersebut efektif, namun baru mengetahui obat bisa menambah usia harapan hidup pasien.
Pasien kanker paru-paru kerap mengalami mutasi pada reseptor yang disebut EGFR. Reseptor biasanya membantu sel tumbuh, tetapi mutasi membuat sel membelah dan berkembang biak secara berlebihan, yang dapat menyebabkan kanker.
Pil Tagrisso berfungsi sebagai saklar untuk mematikan reseptor yang bermutasi. Sekitar 10 hingga 15 persen kasus kanker paru-paru di AS memiliki mutasi EGFR, meski lebih umum di Asia dan Australia.
Mutasi biasanya terdeteksi pada orang dengan sedikit atau tanpa riwayat merokok. Profesor onkologi di Johns Hopkins Medicine, Patrick Forde, mengatakan bahwa sebelum tersedianya perawatan yang ditargetkan seperti Tagrisso, pasien dengan kanker paru stadium satu sampai tiga biasanya menerima kemoterapi setelah operasi.
Kemoterapi meningkatkan peluang pasien untuk bertahan hidup sekitar lima persen, jika dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima kemoterapi. Dokter mungkin masih merekomendasikan kemoterapi dan Tagrisso setelah operasi.
Hanya saja, dibandingkan dengan kemoterapi, Tagrisso hadir dengan efek samping utama yang lebih sedikit. Beberapa orang yang mengonsumsi pil itu mengalami ruam kulit dan diare ringan, tetapi secara keseluruhan obat dapat ditoleransi dengan cukup baik.
Jill Feldman, seorang pasien kanker paru-paru dari Deerfield, Illinois, AS, yang telah menggunakan Tagrisso selama lebih dari empat tahun, mengatakan bahwa kankernya telah berhenti berkembang. Meski obat itu sangat membantu, dia mengatakan ada efek samping yang terjadi.
Sejak mulai mengonsumsi obat, Feldman yang kini berusia 53 tahun mengalami diare dan sariawan. Dia juga didera kelelahan dan infeksi kulit di bantalan kukunya.