Perdana Menteri Kosovo Keluhkan Sikap Bias AS dan Uni Eropa

Etnis Serbia di Kosovo bentrok dengan polisi dan pasukan perdamaian NATO.

EPA-EFE/Georgi Licovski
Perdana Menteri Kosovo Albin Kurti (kanan) berbicara selama upacara resmi pada kesempatan kemerdekaan di Pristina, Kosovo, Jumat (17/2/2023).
Rep: Lintar Satria Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, PRISTINA -- Perdana Menteri Kosovo, Albin Kurti, mengeluhkan sikap bias Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa terhadap negaranya serta toleransi mereka pada rezim otoriter Serbia. Kurti mengatakan kabinetnya mengalami sikap yang berbeda.

Baca Juga


"Kami yakin berperilaku baik pada otokrat tidak membuatnya berperilaku lebih baik, justru sebaliknya," kata Kurti, Kamis (8/6/2023).

Kurti mengatakan Utusan AS dan Uni Eropa untuk perundingan Kosovo dan Serbia yakni Gabriel Escobar dan Miroslav Lajcak datang ke Kosovo dengan tuntutan dan permintaan dari pihak seberang. Baru-baru ini etnis Serbia di Kosovo bentrok dengan polisi dan pasukan perdamaian Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dikenal KFOR.

Bentrokan tersebut mengakibatkan 30 tentara dan lebih dari 50 pengunjuk rasa etnis Serbia terluka. Kekerasan juga menimbulkan kekhawatiran terjadi lagi konflik mematikan di wilayah perbatasan.

Kepala Misi Supremasi Hukum Uni Eropa atau EULEX, Lars-Gunnar Wigemark, mengatakan kekerasan pekan lalu mengakibatkan sejumlah tentara KFOR terluka. "Sudah terjadi kekerasan paling buruk, semua orang, mengatakan mereka beruntung tidak ada korban jiwa," katanya.

Setelah sejumlah tentaranya terluka pekan lalu, NATO mengatakan akan mengirimkan 700 pasukan tambahan ke utara Kosovo. Wigemark mengatakan akan ada saatnya polisi sipil EULEX tidak lagi memiliki wewenang eksekutif tapi hanya "memantau dan melatih polisi Kosovo" tidak lagi dibutuhkan di Kosovo.

"Namun, kondisinya belum sampai ke sana," katanya.

Diplomat Eropa itu tidak mengesampingkan kemungkinan NATO dapat memutuskan mengirimkan "ribuan tentara militer" ke Kosovo. "Bila situasinya menjadi semakin tidak stabil, bila eskalasi terjadi lagi, tentu, itu salah satu opsi," kata Wigemark.

Konfrontasi pecah saat pengunjuk rasa etnis Serbia menghalangi kandidat etnis Albania yang dinyatakan memenangkan pemilihan daerah di utara Kosovo masuk gedung pemerintahan untuk dilantik. Etnis Serbia di daerah itu memboikot pemilihan daerah.

Brussels meminta Kosovo menarik pasukan polisi khusus dari utara Kosovo yang sebagian besar masyarakat etnis Serbia dan menggelar pemilihan daerah baru. Pada Februari dan Maret, Kosovo dan Serbia meraih kesepakatan dalam perjanjian yang ditengahi Uni Eropa.

Dalam kesepakatan 11 poin itu, dua negara bertetangga sepakat menormalisasi hubungan. Prosesnya masih fokus pada perundingan yang ditengahi utusan dari Washington dan Brussels.

Kurti bersikeras pasukan polisi khusus tidak bisa "ditarik" sampai kelompok penjahat Serbia pergi atau ditangkap. Ia mengatakan perdamaian di Kosovo tidak akan terganggu bila tidak ada "perintah kekerasan dari Belgrade."

Kurti mengatakan kekuatan-kekuatan Barat tidak bisa memanjakan Belgrade yang merupakan akar masalah kekerasan di Balkan Barat. Ia mengeluh bahkan untuk pemilihan cepat bulan April di empat kota madya di utara Kosovo yang mayoritas etnis Serbia 'mediator internasional, fasilitator Eropa mengecewakan kami.'

Ia mengatakan Barat menekan Kosovo untuk membuat amandemen pemilihan umum. Tapi tidak menekan satu-satunya partai politik etnis Serbia untuk terlibat dalam pemilihan umum.

Kurti mengatakan ia membutuhkan bantuan masyarakat internasional memelihara pluralisme politik di komunitas minoritas etnis Serbia "untuk persaingan adil, dalam pemilihan demokratis untuk walikota baru."

"Kami tidak bisa membiayai proses lain di mana kandidat Serbia memboikot pemilihan beberapa hari sebelum pemungutan suara dimulai karena perintah dari Belgrade," katanya.

Wigemark yang juga menjabat untuk Bosnia-Herzegovina mengatakan penting untuk insiden-insiden ini tidak dibiarkan berkobar, meluas ke semacam konflik bersenjata.

"Dialog yang sedang berlangsung antara Belgrade dan Pristina, adalah tempat untuk mengatasi masalah-masalah yang paling penting," katanya.

Serbia dan bekas provinsinya Kosovo berselisih selama puluhan tahun, Belgrade menolak mengakui kemerdekaan Kosovo tahun 2008. Kekerasan terjadi di dekat perbatasan mereka memicu kekhawatiran terjadi lagi konflik seperti tahun 1998-1999 yang Kosovo klaim menewaskan 10 ribu orang dan mendorong NATO membentuk KFOR.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler