Kasus Migor, Kejagung Diminta Terapkan TPPU atau Perampasan Aset

Kejaksaan Agung diminta menerapkan TPPU atau perampasan aset dalam kasus migor.

Kejaksaan Agung (Ilustrasi). Kejaksaan Agung diminta menerapkan TPPU atau perampasan aset dalam kasus migor.
Rep: Wahyu Suryana Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga korporasi sebagai tersangka kasus kelangkaan minyak goreng. Atas kasus ini, masyarakat sipil meminta pemerintah melakukan penegakan hukum tegas ke pelaku.

Baca Juga


Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, meminta Kejagung menindak tegas pelaku-pelaku kartel minyak goreng tersebut. Ia berharap, hukuman berat bisa dijatuhkan agar membuat jera seluruh korporasi yang terlibat.

Antara lain dengan cara tuntutan dan hukuman bagi korporasi-korporasi untuk memulihkan keuangan negara. Ia turut meminta pemerintah memastikan tidak ada celah penghindaran lewat skema aksi korporasi oleh tersangka.

"Dalam hal ini, Kejaksaan Agung perlu menerapkan pendekatan pidana pencucian uang dan perampasan aset," kata Andi, Senin (19/6).

Ia merasa, perlu perbaikan tata kelola industri sawit dari hulu ke hilir dan penguatan pengawasan distribusi. Reforma aset petani sawit rakyat melalui kepemilikan pabrik sawit dan pabrik minyak goreng skala mikro.

Kemudian, penyesuaian pajak, pungutan dan subsidi untuk mendorong distribusi domestik dan mengurangi aliran ke luar. Ia merasa, sudah saatnya pemerintah mengubah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).

"Menjadi penugasan pada perusahaan milik negara untuk menyediakan minyak goreng murah," ujar Andi.

Andi mengingatkan, minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Mengingat pentingnya minyak goreng untuk menunjang kebutuhan harian, kelangkaan serta melambungnya harga yang akan menyengsarakan.

Semua itu berdampak kepada hak-hak masyarakat seperti hak ekonomi, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman. Ia merasa, segala bentuk praktik penimbunan dan kartel melanggar HAM.

Ia menambahkan, negara memiliki kewajiban menjaga dan melindungi HAM dari segala tindakan bisnis yang berpotensi melanggar HAM. Negara harus mengambil langkah mengendalikan harga pasar dan menjamin ketersediaan.

"Sementara, korporasi bertanggung jawab dengan tidak berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran dengan menimbun dan menentukan harga melalui kartel," kata Andi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler