PBB Sebut Pemerintahan Taliban Sulit Diakui Selama Perempuan Afghanistan Dikekang

Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di LSM.

AP Photo/Ebrahim Noroozi
Perempuan Afghanistan menenun wol untuk membuat karpet di pabrik karpet tradisional di Kabul, Afghanistan, Senin (6//32023). Setelah Taliban berkuasa di Afghanistan, banyak hak dasar perempuan telah dirampas.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Utusan PBB untuk Afghanistan Roza Otunbayeva mengatakan, selama kehidupan perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dikekang, pemerintahan Taliban hampir tidak mungkin memperoleh pengakuan internasional. Pengakuan demikian hanya bisa didapat jika Taliban memenuhi hak-hak dasar kaum perempuan di Afghanistan.

Saat berbicara di Dewan Keamanan PBB pada Rabu (21/6/2023) lalu, Otunbayeva mengungkapkan, Taliban telah meminta agar pemerintahannya di Afghanistan diakui oleh PBB dan 192 anggota negara lainnya. “Namun, pada saat yang sama, mereka bertindak melawan nilai-nilai utama yang dinyatakan dalam Piagam PBB,” ujarnya.

Otunbayeva mengaku hal itu pun disampaikannya ketika melakukan diskusi regulernya dengan Taliban. “Saya blak-blakan tentang hambatan yang mereka buat untuk diri mereka sendiri dengan keputusan serta pembatasan yang telah mereka berlakukan, khususnya terhadap perempuan dan anak perempuan (Afghanistan),” kata mantan presiden Kyrgyzstan tersebut.

Awal pekan ini Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM Afghanistan Richard Bennett mengatakan, perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dapat dikategorikan sebagai apartheid gender. “Diskriminasi yang parah, sistematis, dan terlembagakan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan inti dari ideologi serta aturan Taliban, yang juga menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka mungkin bertanggung jawab atas apartheid gender,” ujar Bennett saat berbicara di Dewan HAM PBB, Senin (19/6/2023).

Baca Juga


Dia menjelaskan, PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena gender atau jenis kelamin mereka. “Kami telah menunjukkan perlunya lebih banyak eksplorasi apartheid gender, yang saat ini bukan merupakan kejahatan internasional, tetapi bisa menjadi demikian,” kata Bennett.  

“Tampaknya jika seseorang menerapkan definisi apartheid, yang saat ini untuk ras, pada situasi di Afghanistan dan menggunakan seks daripada ras, maka tampaknya ada indikasi kuat yang mengarah ke sana,” ujar Bennett.

Dalam sebuah laporan yang mencakup Juli hingga Desember 2022, Bennett menemukan bahwa perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan mungkin sama dengan penganiayaan gender. “Pencabutan hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan yang serius ini dan penegakan keras oleh otoritas de facto atas tindakan pembatasan mereka dapat merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dari penganiayaan gender,” kata Bennett.

Kehidupan perempuan di Afghanistan kembali dikekang oleh Taliban sejak mereka kembali berkuasa pada Agustus 2021. Anak perempuan dilarang melanjutkan pendidikan setelah mereka lulus sekolah dasar. Sekolah menengah dan universitas tak diizinkan bagi mereka. Keputusan melarang perempuan Afghanistan berkuliah diambil Taliban pada Desember tahun lalu.

Menteri Pendidikan Tinggi Taliban Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan perempuan berkuliah diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus, seperti pertanian dan teknik, tak sesuai dengan budaya Afghanistan serta melanggar prinsip-prinsip Islam.

Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. 

Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.

Serangkaian kebijakan Taliban yang “menindas” kehidupan perempuan Afghanistan itu telah dikecam dunia internasional. Hingga saat ini belum ada satu pun negara yang mengakui kepemimpinan Taliban di Afghanistan. Salah satu alasannya adalah karena belum dipenuhinya hak-hak dasar kaum perempuan di sana.

 

sumber : AP, Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler