Ekspor Sawit Lesu Sepanjang Kuartal I 2023, Ini Sebabnya

Nilai ekspor sawit sepanjang kuartal I 2023 tercatat sebesar 5,92 miliar dolar AS.

EPA-EFE/DEDI SINUHAJI
Seorang petani bersiap membawa buah sawit yang baru dipanen di Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia, 23 Mei 2022. Kinerja ekspor sawit tercatat mengalami penurunan sepanjang kuartal I 2023.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja ekspor sawit tercatat mengalami penurunan sepanjang kuartal I 2023. Sejumlah faktor global masih menghantui pasar industri sawit nasional di tahun ini. Lesunya ekspor sawit lantasn menjadi fokus pemerintah lantaran menjadi sektor strategis yang berperan besar terhadap penerimaan devisa. 

Baca Juga


Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor sawit sepanjang kuartal I 2023 tercatat sebesar 5,92 miliar dolar AS, atau turun 11,34 persen dari kuartal I 2023 yang mencapai 6,67 miliar dolar AS. 

"Ini semua disebabkan menurunnya harga CPO di pasar global," ujar Deputi Kemenko Perekonomian, Musdalifah dalam sebuah dialog yang digelar di Jakarta, Senin (26/6/2023). 

Musdalifah menjelaskan, sebenarnya yang terjadi bukan sebatas penurunan harga. Namun, terdapat penyesuaian harga dengan minyak nabati dunia lain disertai dengan adanya gangguan perubahan ikim.  Mau tak mau, harga minyak sawit ikut terkoreksi.

Ia pun memastikan, pemerintah menjaga keberlanjutan sawit Indonesia. Pasalnya, tantangan kelapa sawit tidak hanya berasal luar negeri, namun gangguan domestik tetap berpotensi menghambat ekspor sawit. 

Terlebih, sumbangan devisa  dari ekspor sawit telah mengalami kenaikan dari 1,04 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 29,65 miliar dolar AS pada 2022 dibanding tahun sebelumnya. 

"Dunia sedang dalam ketidakpastian akibat kita baru saja melalui Covid-19, kita juga dihadapi geopolitik yang beri dampak signifikan terhadap kondisi perekonomian dunia. Kita semua bekerja keras pulihkan ekonomi,” kata dia. 

 

Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk badan baru yang befungsi sebagai regulator khusus menangani industri sawit dari hulu ke hilir. Usulan tersebut, menyusul tata kelola sawit Indonesia yang carut marut meski telah menjadi produsen terbesar dunia. 

“Sangat perlu satu badan atau regulator dalam rangka menjalankan sawit ini, supaya konflik ego sektoral dari pihak regulator bisa diminimalisasi disitu,” kata Ketua Umum DMSI, Sahat Sinaga dalam kesempatan sama.

Sejauh ini, pemerintah telah memiliki Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun lembaga tersebut hanya difokuskan sebagai pemungut dana pungutan ekspor sawit sekaligus penggunaannya. 

Sahat mengatakan, lembaga yang dibutuhkan jauh lebih luas tugas dan fungsinya dari BPDPKS yang ada saat ini. Adanya lembaga yang fokus mengurusi sawit akan membuat pemerintah lebih mudah ketika terdapat gejolak pasar, seperti kenaikan harga yang tak terkendali. 

Pasalnya, menurut Sahat, harga sawit yang terlalu tinggi seperti terjadi pada tahun lalu pun tak selamanya positif bagi pengusaha. Belajar dari sejarah kelam komoditas karet, harga yang kian tinggi membuat negara-negara mengembangkan karet sintetis dengan harga yang jauh lebih murah. 

 

“Nah, kita harapkan ini jangan sampai terjadi di sawit. Jadi (lembaga) ini jadi masukan supaya sawit kita berkembang lebih baik,” ujarnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler