Bayar Pakai QRIS Kini Buat Pedagang Meringis
Pedagang terpaksa menaikkan harga produk meski tidak diperbolehkan dalam aturan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyesuaian tarif pembayaran dengan QRIS menimbulkan keluhan dari merchant terutama usaha mikro. Bank Indonesia telah menetapkan, mulai 1 Juli 2023, tarif merchant discount rate (MDR) menjadi sebesar 0,3 persen dari sebelumnya gratis.
Setiap pedagang yang menyediakan jasa atau layanan menggunakan pembayaran digital (QRIS) perlu membayar tarif ini. Merchant discount rate adalah tarif yang wajib dibayarkan pedagang kepada bank sebagai biaya transaksi dalam penggunaan layanan QRIS. Adapun besaran merchant discount rate dan distribusi ditetapkan oleh BI.
Salah satu pemilik usaha kedai makanan dan minuman di Jakarta Selatan, Aldo mengatakan ia belum mengetahui tentang kebijakan pemotongan biaya pembayaran jika pelanggan menggunakan QRIS. "Kalau untuk pemotongan saat transaksi belum tau sih, karena belum liat update perkembangan berita,” kata dia saat di temui dikedai miliknya, akhir pekan ini.
Namun setelah mengetahuinya, Aldo mengatakan akan memikirkan cara untuk menyesuaikan harga. Ia tidak ingin merasa terbebani atas kebijakan yang berlaku, karena kebanyakan makanan yang dia jual berkisar harga dari Rp 5.000 sampai Rp 20 ribu.
"Bingung juga ya kalo misalkan kita enggak naikkan harga ya kita yang rugi tapi, kalo kita menaikan harga juga pelanggan pasti bakal sepi," katanya.
Tentu, tambah Aldo, hal ini menjadi perhatian khusus untuk pedagang kecil seperti dia. Dengan adanya kebijakan membayar saat nasabah pakai QRIS ini dia harus memikirkan bagaimana solusi yang pas supaya kedai yang ia punya tetap ramai dan harganya tetap terjangkau dikantong anak muda dan anak sekolah.
"Ya, itu pasti jadi hal yang harus saya pikirin juga sih untuk kedepannya, karena kalo setiap bayar kepotong 0,3 persen itu juga mengurangi biaya modal kita," katanya.
Ia berharap keputusan Bank Indonesia ini bisa dipertimbangkan kembali. Ini karena menurutnya banyak pedagang yang berjualan tapi dengan omset masih sangat kecil.
Salah satu pedagang lain juga memprotes kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mengenakan biaya layanan QRIS 0,3 persen mulai 1 Juli 2023. Apalagi menurut aturan itu, pedagang tidak diperbolehkan memungut biaya kepada konsumen atau pembeli.
Penjual Ketoprak bernama Wahyu Putra tidak mengindahkan aturan itu, ia tetap membebankan biaya layanan QRIS kepada pembeli setelah mereka menerima pemberitahuan biaya MDR 0,3 persen dari bank. Putra yang biasanya menjual Ketoprak Rp 13 ribu per porsi untuk pembayaran tunai dan QRIS, kini dinaikkan menjadi Rp 13.500 untuk pembeli yang menggunakan QRIS.
"Karena ada potongan (biaya QRIS) saya tidak mau rugi. Bahkan kemudian saya menawarkan untuk membayar biaya tambahan (harga). Kalau tidak mau, uang tunai tidak apa-apa," kata Putra.
Ia menegaskan, surcharge Rp 500 saat ini bukan untuk dirinya melainkan untuk bank. "Ya enggak mau rugi kalau (penghasilan) rendah, jadi berkurang. Lebih baik tutup saja, enggak usah pakai (QRIS)," tutupnya.
Penjual Bakso yang terletak di Jakarta Timur bernama Aji Nano, mengaku saat ini tidak membebankan biaya tambahan kepada pembeli. Namun, ia menentang kebijakan tersebut.
"Sampai saat ini aplikasi (QRIS) tidak ada potongan, kalau nanti ada potongan, ya kami akan lawan. Kami juga mau tidak mau harus menaikkan harga," katanya saat diwawancara pada, Jumat (7/7/2023).
Ia menjelaskan, biasanya tidak ada potongan biaya administrasi jika berjualan melalui sistem pembayaran QRIS. Tapi untuk jualan online dari platform digital tertentu, ia mengakui juga berlaku tarif. Ada biaya yang harus dibayar hingga 20 persen per transaksi.
Menurutnya, pemotongan pembayaran QRIS memaksa penjual untuk menaikkan harga juga seperti ia jualan pada platfom online. Ini dilakukan agar penjualan melalui aplikasi agar tetap bisa mendapat untung.
"Makanya lebih baik jual langsung. Kalau aplikasi, bantu saja," ujarnya.
Dampak dari kenaikan Merchant Discount Rate (MDR) tidak hanya menimbulkan kekhawatiran pada pedagang, tapi juga....
Dampak dari kenaikan Merchant Discount Rate (MDR) tidak hanya menimbulkan kekhawatiran pada pedagang, tapi juga pembeli. Konsumen yang biasa membayar QRIS jadi pikir-pikir kembali jika ingin menggunakannya.
Bagi konsumen, adanya tambahan harga juga akan menjadi beban. Konsumen akan berpikir dua kali untuk membelinya. Ini karena menggunakan QRIS bisa jadi tambahan harga jual, atau mengurangi omset pedagang.
Salah satu pelanggan kedai kopi bernama Aulia Syifa merasa keberatan dan kasihan terhadap para penggiat UMKM yang berusaha agar usahanya berkembang. “Ya kasihan gitu sama pedagang, terlebih ini dibebankan pada para pedagang gitu, untung yang mereka dapat kan jadi kepotong juga," Katanya saat diwawancara di salah satu kedai Ponyo di daerah Lubang Buaya, akhir pekan ini.
Ia sangat menyayangkan kenaikan tarif ini karena bisa mengubah semua harga yang ada di pasar. Ini karena bisa saja pedagang membebankan kepada konsumen, jadi harga yang harus dibayarkan ikut naik juga. Meski kebijakan merchant discount rate (MDR) QRIS menetapkan tidak boleh meneruskan biayanya ke konsumen.
“Ini kan jadi pro kontra ya, menurut saya ini akan berpengaruh ke harga jual yang ada, akan jadi naik sebab dari potongan ini enggak mungkin pedagang tidak berpikir hal demikian,” lanjutnya.
Tentu hal ini bisa beresiko bagi pedagang UMKM yang akan menurun juga konsumennya bila naik secara masif seperti ini. Karena dalam jangka waktu yang tidak diketahui ini tentu akan ada kenaikan – kenaikan berikutnya.
Seorang konsumen yang suka bayar pakai QRIS, Tia Riana juga cukup menyayangkan kebijakan ini. Meski jumlahnya, menurutnya, tidak terlalu besar yakni 0,3 persen, tapi tetap ini akan punya pengaruh, apalagi pada masyarakat kecil.
"Antara dua ya, antara kita kasihan ke pedagang kalau misal harga produk tidak naik, atau ya kita yang harus bayar lebih karena dibebankan pada kita," katanya.
Ia mencontohkan, biaya saat membeli makanan secara online jadi lebih tinggi daripada kalau beli secara langsung. Beda harga itu memang kini hal lumrah, tapi bisa jadi bukan tanda kenaikan tingkat konsumsi yang sesungguhnya.
Menurutnya, kenaikan MDR QRIS bisa malah kontradiktif dengan gerakan tanpa tunai atau cashless yang selama ini digaungkan pemerintah. Lebih baik masyarakat beli pakai uang tunai lagi saja. Ini juga bisa membuat minat jajan di UMKM jadi berkurang.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga menilai kenaikan tarif MDR QRIS untuk usaha mikro itu bisa memicu masyarakat...
Center of Economics and Law Studies (Celios) menilai kenaikan tarif merchant discount rate (MDR) melalui sistem quick response code indonesian standard (QRIS) memicu masyarakat menggunakan metode transaksi lainnya, seperti uang tunai. Hal ini sebagai respon penyesuaian tarif MDR QRIS bagi merchant menjadi 0,3 persen dan mulai berlaku efektif sejak 1 Juli 2023.
Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan tersebut membawa dampak negatif.
“Yang terjadi justru pelaku usaha memberikan opsi, pelaku usaha UMKM meminta kepada konsumen membayar menggunakan metode transaksi lainnya seperti uang tunai. Kalau sampai kembali lagi ke uang tunai maka upaya mendorong cashless menjadi mundur kebelakang,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Senin (10/7/2023).
Menurutnya opsi lain dari naiknya tarif MDR QRIS untuk usaha mikro yakni menaikkan harga jual barang dari pelaku usaha. Saat ini sebanyak 25,4 juta UMKM menggunakan QRIS atau sekitar 40 persen dari total 65 juta unit UMKM yang tercatat pemerintah.
“Artinya, baik pelaku UMKM maupun konsumen sudah cukup nyaman transaksi via QRIS. Hadirnya MDR 0,3 persen ke pelaku usaha maka harga jual barang dinaikkan sebagai kompensasi tarif baru,” ucapnya.
Padahal menurut Bhima MDR QRIS nol persen tetap menguntungkan pihak jasa pembayaran dan perbankan. Hal ini karena bisa menawarkan layanan fee based income lainnya.
“Harusnya BI berpikir bahwa begitu pelaku usaha dan masyarakat menggunakan QRIS maka banyak layanan yang menambah pundi keuntungan yang bisa ditawarkan ke konsumen. Jadi bukan cari keuntungan lewat QRIS, salah besar itu,” ucapnya.
Pada Selasa (11/7/2023), Bank Indonesia (BI) buka suara soal pembayaran dengan QRIS yang kini berbayar untuk merchant atau pedagang mikro.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia ( BI ) Erwin Haryono mengatakan...
Bank Indonesia (BI) buka suara soal pembayaran dengan QRIS yang kini berbayar untuk merchant atau pedagang mikro. Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia ( BI ) Erwin Haryono mengatakan penetapan tarif ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran untuk masyarakat, khususnya untuk menutup biaya yang timbul.
"Biaya MDR, terutama dengan besaran yang dikenakan kepada pedagang usaha mikro, lebih dimaksudkan untuk mengganti investasi dan biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelenggaraan transaksi QRIS yaitu Penyedia Jasa pembayaran, Lembaga Switching, Lembaga Servis dan Lembaga Standar guna menjaga kualitas dan sustainabilitas penyelenggaraan layanan QRIS," katanya pada Republika, Selasa (11/7/2023).
Erwin menegaskan Bank Indonesia tidak memperoleh porsi pendapatan dari MDR QRIS. MDR sendiri yaitu biaya yang dikenakan kepada pedagang oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Penyesuaian MDR untuk pedagang usaha mikro (UMI) yang terakhir ini juga dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kepada pedagang dan pengguna.
Ia juga mengingatkan bahwa pedagang tidak boleh membebankan biaya MDR kepada masyarakat pengguna QRIS. Mengacu pada pasal 52 ayat 1 PBI 23/6/PBI/2021 Tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP): "Penyedia Barang dan/atau Jasa dilarang mengenakan biaya tambahan (surcharge) kepada Pengguna Jasa atas biaya yang dikenakan oleh PJP kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa.”
"Apabila menemukan pedagang yang mengenakan biaya tambahan tersebut, pengguna dapat melaporkan ke penyedia jasa pembayaran," katanya.
Terdapat golongan merchant kategori khusus yang tidak dikenakan MDR yaitu merchant terkait transaksi Government to People seperti bansos, dan transaksi People to Government seperti pembayaran pajak, paspor dan Donasi Sosial (Nirlaba), termasuk tempat ibadah.
Pengguna QRIS pun terpecah ketika dihadapkan dengan kebijakan kenaikan biaya layanan QRIS untuk sektor usaha mikro menjadi 0,3 persen. Pihak yang pro menyebut biaya tersebut sangat kecil dibandingkan dengan sejumlah benefit yang didapatkan.
Sementara pihak kontra mengeluhkan kenaikan harga produk karena..
Pengguna QRIS terpecah ketika dihadapkan dengan kebijakan kenaikan biaya layanan QRIS untuk sektor usaha mikro menjadi 0,3 persen. Pihak yang pro menyebut biaya tersebut sangat kecil dibandingkan dengan sejumlah benefit yang didapatkan. Sementara pihak kontra mengeluhkan kenaikan harga produk karena biaya itu dibebankan pada pembeli.