Balada Protes Biaya Layanan QRIS, Indonesia Belum Siap Digital?

Hampir semua layanan digital memang pasti ada biayanya.

Republika/Putra M. Akbar
Kertas QRIS untuk transaksi pembayaran yang disediakan di salah satu kios di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (3/7/2023). Bank Indonesia menaikan besaran merchant discount rate (MDR) bagi usaha mikro pengguna QRIS sebesar 0,3 persen yang berlaku pada Juli 2023. Sebelumnya tarif yang berlaku adalah 0 persen dan berakhir pada Juni 2023.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Lida Puspaningtyas, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan biaya layanan pembayaran menggunakan QRIS di tingkat usaha mikro. Dari sebelumnya nol persen alias gratis menjadi 0,3 persen. Sebelumnya, kelompok usaha kecil, menengah, dan besar sudah ada biaya layanan duluan, yakni 0,7 persen.


Membayar menggunakan QRIS juga dikenakan biaya layanan untuk transaksi instansi pendidikan, SPBU, Badan Layanan Umum (BLU), Public Service Obligation (PSO), pajak, dan lainnya. Untuk pendidikan sebesar 0,6 persen, dan SPBU, BLU, dan PSO sebesar 0,4 persen. Sementara untuk bantuan sosial, donasi, pajak itu gratis.

Kenaikan biaya layanan untuk mikro itu ternyata dikeluhkan banyak orang. Mengingat jumlahnya yang sangat kecil, 'hanya' sebesar 0,3 persen, imbasnya ternyata multidimensi.

Saya cukup kaget melihat reaksi pembaca yang ternyata menolak dengan cukup keras.

Banyak pedagang yang tidak tahu soal MDR QRIS. Ada yang mengatakan tidak mau pakai lagi kalau harus bayar. Ada juga yang akan tetap pakai, tapi akan menaikkan harga makanan. Ada juga yang menuruti aturan dengan tidak membebankan MDR QRIS pada pembeli.

Penjual Ketoprak bernama Wahyu mengatakan ia menaikkan harga Rp 500 dari harga normal Rp 13.000 jika pelanggan mau bayar pakai QRIS. Padahal biaya QRIS tidak lebih dari 0,3 persen. "Kalau tidak mau, uang tunai tidak apa-apa," kata dia.

Perbincangan saya dengan seorang teman yang bekerja di sebuah bank acquirer QRIS menyimpulkan mungkin kebanyakan masyarakat Indonesia belum siap berteknologi digital ria. Masih ingin menggunakan layanan, tapi secara gratis.

"Padahal prinsipnya kalau ada layanan atau jasa ya ada biayanya," kata dia.

Fee sebesar 0,3 persen pun masih dianggap sangat besar. Tapi ini bisa dimengerti karena pelaku usaha mikro itu juga punya beban-beban lain yang cukup besar untuk skala bisnisnya. Seperti sewa tempat, biaya admin kalau berjualan di platform online, modal yang harus diputar kembali, hingga pungli di tempat jualan.

Kalau melihat pihak yang pro, rata-rata ya kelas menengah ke atas. Dengan penghasilan usaha yang lebih besar, mereka tidak keberatan dengan biaya yang dianggap masih cukup rendah. Apalagi mereka bisa melihat keuntungan yang lebih banyak dari menggunakan QRIS.

Salah seorang kenalan jurnalis yang juga pengusaha mengatakan biaya QRIS yang dibebankan itu sangat kecil. Usahanya kena MDR 0,7 persen.

"Dari omzet sekitar Rp 30 juta itu paling cuma kena Rp 90 ribuan," kata dia.

Tapi lagi-lagi, kita tidak bisa menafikkan sektor mikro yang punya beban ekonomi tinggi. Jumlah usaha mikro juga sangat besar di Indonesia, capai 64,6 juta unit atau 98,67 persen dari total UMKM. Bank Indonesia sendiri menyadari hal itu dengan memberikan MDR QRIS nol persen sejak awal peluncuran hingga 30 Juni 2023 kemarin.

Saya iseng bertanya, apa QRIS bisa seterusnya gratis untuk sektor mikro?

Teman saya yang bekerja di bank acquirer itu mengatakan bisa saja. Tapi tetap ada pihak yang akan menggantikan membayar jasa tersebut. Bank Indonesia juga mengatakan kenaikan MDR QRIS sektor mikro memang untuk beberapa hal, termasuk menutup biaya yang memang timbul.

"Kita kan sudah investasi di teknologinya, tentu ada biaya," kata teman saya itu.

Tidak hanya QRIS, kalau dihitung-hitung hampir semua layanan digital memang pasti ada biayanya. Mulai dari biaya layanan kalau beli makanan online, belanja online di e-commerce, gesek kartu saat transaksi pakai EDC, beli token listrik di e-commerce, saat transfer antar bank, top up e-wallet, dan seterusnya, you named it.

Makanya tidak heran bisnis menggratiskan biaya admin berkembang pesat, E-commerce yang punya banyak promo lebih digemari, bank digital yang menggratiskan transfer antar bank semakin tinggi peminat, dan seterusnya. Itu karena masyarakat Indonesia masih dalam masa transisi digital.

Ingin pakai teknologi tapi ya kalau bisa sih gratis. Sampai kapan ini akan berlangsung? I would say, kalau pendapatan orang Indonesia sudah masuk golongan menengah atas semua. Long way to go.. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler