Anggota Komisi I DPR: KPK Sah-Sah Saja Tangkap Tangan Anggota Aktif TNI
"Lalu setelah penangkapan, harus langsung diserahkan ke POM TNI," ujar TB Hasanuddin.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengatakan, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota TNI aktif sah. Namun setelah itu, proses hukumnya harus dilakukan oleh Pusat Polisi Militer (POM) TNI.
"Jadi dalam kasus KPK yang melakukan OTT terhadap anggota TNI aktif ya sah-sah saja dengan catatan penangkapan tersebut dilakukan secara spontan tanpa perencanaan. Lalu setelah penangkapan, harus langsung diserahkan ke POM TNI," ujar TB Hasanuddin lewat keterangannya, Senin (31/7/2023).
Misalnya, bila dalam proses OTT tersebut membutuhkan waktu untuk penyelidikan terlebih dahulu, maka perlu melakukan koordinasi dan melibatkan POM TNI. Sebab, proses hukum selanjutnya seperti pengembangan kasus dan juga penetapan tersangka anggota TNI aktif harus dilakukan oleh POM TNI.
Hasanuddin melanjutkan, sesuai undang-undang, terdapat empat jenis pengadilan di Indonesia, yakni pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama. Adapun pengadilan umum tidak bisa mengadili anggota TNI aktif.
TNI memiliki ketentuannya sendiri dalam memproses hukum anggotanya. Terutama dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang mengatur penanganan kasus dan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI aktif.
"Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, peradilan militer masih berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum," ujar TB Hasanuddin.
"Kondisi ini dikuatkan oleh Pasal 74 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu selama Undang-Undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, maka tetap tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," sambungnya.
Kendati demikian, ia mendukung proses hukum yang melibatkan oknum anggota TNI aktif harus dilakukan secara transparan dan terang benderang. "Proses hukum harus dilanjutkan dan dilakukan secara transparan dan dibuka ke publik," ujarnya.
Diketahui, dua prajurit aktif TNI baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh KPK terkait pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Keduanya adalah Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) Marsdya Henri Alfiandi, serta anak buahnya Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Penetapan status tersangka terhadap Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto oleh KPK kemudian memicu reaksi Mabes TNI. Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan lantaran pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.
"Dari tim kami terus terang keberatan, kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer. Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri. Namun, saat press conference (KPK) ternyata statement itu keluar bahwa Letkol ABC maupun Kabasarnas Marsdya HA ditetapkan sebagai tersangka," kata Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023).
Agung pun menyayangkan sikap KPK yang langsung mengumumkan status tersangka terhadap Henri dan Afri. Sebab, keduanya masih merupakan prajurit aktif saat tertangkap dalam kasus ini
"Jadi pada intinya, kita saling menghormati. kita punya aturan masing masing. TNI punya aturan, dari pihak KPK, baik itu hukum umum, punya aturan juga. kami aparat TNI tidak bisa menetapkan orang sipil sebagai tersangka, begitu juga harapan kami, pihak KPK juga demikian," ujar Agung.