Harga Pangan Dunia Naik Usai Rusia Mundur dari Kesepakatan Biji-bijian Laut Hitam

Harga beras dan minyak naik untuk pertama kalinya sejak April.

AP
Harga-harga komoditas pangan dunia seperti beras dan minyak sayur naik untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir
Rep: Lintar Satria Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Harga-harga komoditas pangan dunia seperti beras dan minyak sayur naik untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir setelah Rusia menarik diri dari perjanjian yang mengijinkan Ukraina untuk mengirim gandumnya ke dunia. Dalam laporannya Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengatakan langkah India membatasi beberapa ekspor berasnya juga mendorong kenaikan harga pangan.

Indeks Harga Pangan FAO, yang melacak perubahan harga komoditas internasional bulanan menunjukkan komoditas pangan yang umum diperdagangkan di bulan Juli naik 1,3 persen dibandingkan bulan Juni. Kenaikan indeks ini didorong naiknya harga beras dan minyak sayur. Ini adalah kenaikan pertama sejak April, ketika harga gula yang lebih tinggi menaikkan sedikit indeks untuk pertama kalinya dalam satu tahun.

Harga-harga komoditas jatuh sejak mencapai rekor tertinggi tahun lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina. Terganggunya suplai dari kedua negara tersebut memperburuk krisis pangan global karena mereka adalah pemasok utama gandum, jelai, minyak bunga matahari, dan produk makanan terjangkau lainnya, terutama untuk negara-negara di beberapa bagian Afrika, Timur Tengah, dan Asia di mana jutaan orang sedang berjuang melawan kelaparan.

Dunia masih belum pulih dari guncangan harga tersebut, yang telah meningkatkan inflasi, kemiskinan, dan kerawanan pangan di negara-negara berkembang yang bergantung pada impor.

Kini, ada risiko-risiko baru setelah pada pertengahan Juli lalu Rusia keluar dari kesepakatan yang ditengahi oleh PBB dan Turki yang memberikan perlindungan bagi kapal-kapal yang membawa produk-produk pertanian Ukraina melalui Laut Hitam. Seiring dengan serangan Rusia terhadap pelabuhan-pelabuhan dan infrastruktur biji-bijian Ukraina, harga gandum dan jagung bergerak fluktuatif di pasar global.

Dikutip dari the Washington Post, Jumat (4/8/2023) kepala ekonom FAO Maximo Torero mengatakan harga gandum internasional naik 1,6 persen di bulan Juli dibandingkan bulan Juni, kenaikan pertama dalam sembilan bulan terakhir.

Langkah India melarang ekspor beras timbulkan kekhawatiran....

Baca Juga


Kini yang lebh mengkhawatirkan adalah langkah India melarang ekspor beberapa jenis beras putih non-Basmati, yang mendorong penimbunan bahan makanan pokok ini di beberapa bagian dunia. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan akhir bulan lalu terjadi karena El Nino yang datang lebih awal dari perkiraan, fenomena alam ini membawa cuaca yang lebih kering dan lebih hangat di beberapa bagian Asia dan diperkirakan akan merusak produksi beras.

Dalam laporannya FAO mengatakan pada bulan Juli harga beras naik 2,8 persen dari bulan sebelumnya dan 19,7 persen di tahun ini, mencapai level tertinggi sejak September 2011.

"(Harga beras yang lebih mahal) menimbulkan masalah ketahanan pangan yang substansial bagi sebagian besar populasi dunia, terutama masyarakat paling miskin dan mendedikasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli makanan," kata organisasi ini dalam sebuah pernyataan.

Torero mengatakan, kenaikan harga beras akan sangat menantang bagi Afrika sub-Sahara karena negara-negara di kawasan ini merupakan importir utama beras. FAO juga mencatat tajamnya kenaikan harga minyak sayur bulan Juli yang lebih tinggi 12,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya, setelah sempat turun selama tujuh bulan berturut-turut.

FAO menunjukkan lonjakan 15 persen pada harga minyak bunga matahari menyusul "ketidakpastian baru" mengenai suplai setelah berakhirnya kesepakatan biji-bijian.

"Meskipun dunia memiliki persediaan makanan yang cukup, tantangan terhadap pasokan dari produsen-produsen utama karena konflik, pembatasan ekspor atau kekurangan produksi yang disebabkan oleh cuaca dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan di seluruh wilayah," kata Torero.

"(Hal ini akan menyebabkan) kurangnya akses pangan karena kenaikan harga dan potensi kerawanan pangan."

Ia mencatat harga-harga komoditas pangan global berbeda dengan harga yang dibayarkan oleh masyarakat di pasar-pasar dan toko-toko kelontong. Meskipun harga-harga di pasar dunia telah turun sejak tahun lalu, bantuan tersebut belum sampai ke rumah-rumah tangga.

Harga-harga pangan lokal masih naik di banyak negara berkembang karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS, yang digunakan untuk membeli biji-bijian dan minyak nabati.

"Transmisi dari harga komoditas yang lebih rendah ke harga konsumen akhir, yang mencakup komponen-komponen lain seperti logistik dan produk-produk lain yang kita hasilkan - roti, misalnya - belum terjadi di negara-negara berkembang," ujar Torero.

Kembali ke harga-harga komoditas pangan yang lebih tinggi "dapat membuat kurangnya transmisi ini membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler