Mahfud MD Jelaskan Beda Politik Identitas dan Identitas Politik 

Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan beda politik identitas dengan identitas politik.

Prayogi/Republika
Menko Polhukam Mahfud MD. Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan beda politik identitas dengan identitas politik.
Rep: Febryan A Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, penggunaan politik identitas dalam pemilu merupakan salah satu pemicu terjadinya pembelahan atau polarisasi masyarakat. Namun, dia menegaskan bahwa politik identitas berbeda dengan identitas politik. 

Baca Juga


"Saya selalu mengatakan politik identitas itu berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. (Namun), politik identitas itu beda dengan identitas politik," kata Mahfud dalam pidatonya ketika membuka acara 'Forum Diskusi Sentra Gakumdu - Wujudkan Pemilu Bersih', Selasa (8/8/2023). 

Mahfud menjelaskan, identitas politik adalah identitas primordial yang melekat pada setiap orang. Misalnya identitas agama di mana ada orang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Lalu identitas suku seperti orang bersuku Madura, Jawa, Bugis, Batak, dan lainnya. Ada pula identitas ras seperti warga Indonesia dari etnis Melayu, Cina, Arab, dan lainnya. 

"Apakah memilih berdasarkan identitas itu tidak boleh? Boleh, tetapi jangan itu menjadi hal yang utama, apalagi dijadikan alat untuk mendiskriminasi orang lain," kata Mahfud. 

Mahfud menyebut, penggunaan identitas untuk mendiskriminasi orang lain itu lah yang dinamakan politik identitas. Dia pun memberikan contoh politik identitas adalah ketika masyarakat dari sebuah suku bangsa mendiskriminasikan seseorang dari suka bangsa lainnya dalam kontestasi pemilu di suatu daerah. 

"Saya orang Jawa, (saya) sikat orang Batak, sikat orang Bugis. Begitu juga di sana di Bugis di Makassar, saya orang Bugis pokoknya orang pendatang di sini mari kita sikat di dalam politik. Itu namanya politik identitas," ujarnya. 

Dalam kesempatan itu, Mahfud menjelaskan pula bahwa pemicu polarisasi masyarakat bukan hanya penggunaan politik identitas, tapi juga fitnah, kebohongan, dan pencemaran nama baik saat pemilu. Berbagai pemicu terjadinya pembelahan masyarakat itu biasanya dikemas dalam bentuk kabar bohong alias hoaks. 

Karena itu, ujar dia, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) harus melakukan menegakkan hukum pidana pemilu terhadap warga maupun kontestan yang memecah belah masyarakat demi memenangkan pemilihan. Mahfud menegaskan, seseorang tidak boleh memecah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengatasnamakan demokrasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler