Miliarder Rusia Kritik Tajam Kebijakan Vladimir Putin Terkait Perang di Ukraina
Miliarder Arkady Volozh menilai invasi Rusia ke Ukraina adalah barbar.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Miliarder yang juga merupakan pendiri Yandex, perusahaan teknologi multinasional asal Rusia, Arkady Volozh, mengkritik tajam berlangsungnya perang di Ukraina. Dia menyebut aksi militer Rusia ke negara tetangganya sebagai tindakan barbar.
“Invasi Rusia ke Ukraina adalah barbar, dan saya dengan tegas menentangnya,” kata Volozh dalam sebuah pernyataan, Kamis (10/8/2023), dilaporkan The Guardian.
Dia mengaku bergidik melihat nasib orang-orang di Ukraina. “Banyak dari mereka adalah teman dan kerabat pribadi saya, yang rumahnya dibom setiap hari,” ucap Volozh.
Volozh kemudian menjelaskan mengapa kritik dan kecamannya atas aksi militer Rusia di Ukraina baru disampaikan saat ini. “Ada banyak alasan mengapa saya harus tetap diam. Anda bisa memperdebatkan waktu pernyataan saya, tetapi bukan tentang substansinya. Saya menentang perang,” ujarnya.
Volozh mengatakan prioritasnya ketika perang di Ukraina pecah adalah mendukung para insinyur Rusia yang ingin bermigrasi. “Orang-orang ini sekarang sudah keluar, dan dalam posisi untuk memulai sesuatu yang baru, terus mendorong inovasi teknologi. Mereka akan menjadi aset yang luar biasa bagi negara tempat mereka mendarat,” ucapnya.
Puluhan ribu profesional teknologi Rusia diyakini telah meninggalkan negara tersebut sejak pecahnya perang di Ukraina. Volozh, yang pindah ke Israel pada 2014, mengundurkan diri sebagai dewan direksi dan CEO Yandex pada Juni tahun lalu setelah dia menjadi sasaran sanksi Uni Eropa.
Yandex, yang notabene perusahaan internet besar dan mesin pencari paling populer di Rusia, menghadapi ketidakstabilan beberapa bulan setelah pecahnya perang Ukraina. Banyak pegawai Yandex yang memilih meninggalkan Rusia.
Pada Desember tahun lalu, sekutu lama Presiden Rusia Vladimir Putin, Alexei Kudrin, mengatakan dia akan bergabung dengan Yandex sebagai penasihat pengembangan perusahaan untuk mengawasi operasi. Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Rusia terus meningkatkan kontrol atas internet, yang pernah dianggap sebagai benteng terakhir kebebasan berbicara di negara tersebut. Semua organisasi media besar sudah menjadi milik negara atau mengikuti garis Kremlin.