Keberanian Titisan Valentino Rossi yang Melegenda; Dihormati Kawan, Disegani Lawan
Marco Simoncelli dicintai karena gaya balap bak gladiator yang agresif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tubuh Marco Simoncelli terkapar di Sirkuit Sepang, Malaysia pada 23 Oktober 2011 silam. Joki kuda besi MotoGP asal Italia yang tutup usia dalam umur relatif muda, 24 tahun itu pun pergi. Namun di bumi, kenangan di benak para pembalap lain bersama sosok jangkung itu terus menempel.
Juara kelas 250 cc musim 2009, Hiroshi Aoyama memiliki kenangan tersendiri saat bersaing ketat dengan Simoncelli. Aoyama, yang saat itu memperkuat Scott Racing Team 250 cc, mengakui, Simoncelli adalah pembalap yang begitu agresif dan penuh determinasi. Terlebih, Simoncelli merupakan juara bertahan kelas 250 cc, tepatnya saat merengkuh titel tersebut pada musim 2008.
''Jika dia ingin menang, dia akan melakukan apapun. Dia selalu berusaha mengalahkan saya dalam beberapa kesempatan. Dia mungkin bukan pembalap yang paling bersih, tapi dia memang sangat cepat. Dengan tubuh yang tinggi, dia menekuk lutut dan sikutnya agar bisa sesuai dengan kondisi motor,'' ujar Aoyama seperti dikutip Autosports, beberapa waktu lalu.
Dengan tinggi badan mencapai 1,83 meter, Simoncelli memiliki tinggi badan di atas rata-rata pembalap lainnya. Belum lagi dengan potongan rambut afro yang bergelombang, yang terkadang sedikit menyeruak di bagian belakang helmnya. Dengan postur tubuh ini, bisa dimaklumi Simoncelli menjadi sorotan.
Agresivitas memang menjadi ciri gaya balapan Simoncelli. Gaya ini pula yang menjadi pangkal kontroversi dan polemik dari Simoncelli. Jorge Lorenzo dan Dani Pedrosa begitu vokal dalam melontarkan kritik gaya balapan Simoncelli, yang dianggap membahayakan pembalap lain.
Berada di lintasan untuk bertarung ...
Reputasi Simoncelli sebagai pembalap yang agresif terbangun sejak berhasil menjuarai kelas 250 cc dan akhirnya mentas di kelas utama pada 2010 bersama Tim Honda Gresini. Reputasi ini yang membuat Simoncelli tidak disukai sejumlah besar pembalap di kelas utama. Namun, mekanik kawakan di pentas MotoGP, Alex Briggs, memiliki pendapat lain.
''Satu-satunya alasan kenapa mereka tidak menyukai Marco adalah karena dia adalah pembalap baru dan sangat cepat, itu saja,'' kata Briggs, yang pernah berkerja sama dengan Valentino Rossi tersebut.
Tidak hanya itu, Colin Edwards juga punya penilaian tersendiri soal gaya balapan Simoncelli. ''Anda tidak bisa membawa seorang gladiator tampil di opera. Kami (pembalap) berada di lintasan untuk bertarung. Jadi, saya kira, Marco bukanlah pembalap yang terlalu agresif. Dia hanya menikmati pertarungan,'' ujar pembalap asal Amerika Serikat tersebut.
Terlepas dari agresivitas di dalam lintasan, Simoncelli justru menjadi sosok yang begitu riang dan ramah di luar lintasan.
Mantan pembalap sekaligus kolumnis di majalah Motorsport, Matt Oxley, menilai, kualitas di atas menjadi salah satu alasan kenapa Simoncelli bisa memberikan kesan yang begitu mendalam buat fans MotoGP. Selain gaya balap, kualitas ini pula yang menjadi pengingat dan penyebab Simoncelli kerap disebut sebagai The Next Rossi.
''Dia selalu berusaha menemukan humor di setiap situasi. Dia jenaka dan tidak peduli. Karena itulah, dia begitu disukai. Fans mencintai dia karena begitu gila di atas trek, tapi begitu hangat dan terbuka di kehidupan di luar trek. Dia merupakan lawan dari pebalap MotoGP yang bertingkah seperti robot. Dia seperti pria hangat yang memiliki kecanduan serius terhadap kecepatan,'' tulis Oxley.